Kecamatan Gambut yang terletak di kabupaten Banjar provinsi Kalimantan Selatan menyimpan pesona yang indah. Di sini masih banyak satwa liar yang hidup berdampingan dengan para warga. Banyak burung yang berkicau merdu di dahan-dahan pohon. Suasana menjadi sunyi karena para siswa tak lagi di asrama. Kami tinggal di lingkungan sekolah berasrama, jadi sangat wajar jika kesunyian ini terasa begitu asing. Sebelum pandemi melanda negeri ini lingkungan sekolah kami selalu ramai. Para siswa hilir mudik dengan berbagai aktivitasnya. Kini hanya ada suara desir angin dan dedaunan yang luruh ke bumi.
Pembatasan aktivitas dan pemberlakuan jaga jarak memaksa kami terus berdiam diri dalam sunyi. Salah satu hiburan kami adalah bermain bersama anak-anak kecil di dekat lingkungan kami. Hampir setiap hari anak-anak ini datang ke rumah sambil berteriak menyuarakan kalimat pamungkas.
"kakak, kami datang! Boleh main di luar?", kata Sami
"kita main di dalam rumah saja ya, kakak mau memasak dulu", kataku
Akhirnya Sami dan adiknya mau masuk ke dalam rumah dan bermain bersama. Setelah beberapa menit berlalu mereka mulai bosan. Aku pun berinisiatif untuk mengambil laptop dan menyalakannya. Perlahan aku mulai mencari video dongeng yang pernah aku buat.Â
"oke deh, sekarang kakak putarkan video dongeng ya. Sini duduk yang rapi!" Mereka pun mulai menikmati dongeng tersebut, sesekali mereka tertawa, berteriak, dan saling memperdebatkan para tokoh yang dikisahkan dalam dongeng.
Dongeng tersebut menceritakan tentang bebek, ayam, dan burung. Ketiga hewan ini sama-sama memiliki sayap. Tapi tidak semua dari mereka mampu terbang. Hanya sang burung yang mampu terbang dengan sayapnya. Hal itu menjadikan bebek dan ayam bersikeras ingin bisa terbang. Sekali, dua kali, tiga kali hingga berkali-kali berlatih keduanya masih saja tak bisa terbang.
"wek wek wek, wek wek wek" suara bebek mengeluh karena telah lelah berlatih terbang.
Tiba-tiba dongengnya diberhentikan oleh Sami. Dia protes tentang suara bebek.
"kakak, kenapa suara bebek seperti itu" kata Sami
"suara bebek kan memang seperti itu", kataku menimpali
"suara bebek tidak seperti itu kak!" Sami ngotot tak mau kalah
"kalau begitu menurut Sami suara bebek itu bagaimana?"
"kakak dengarkan Sami baik-baik ya"
Aku pun hanya bisa diam dan menganggukkan kepala memperhatikan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Nah sudah mirip baris-baris teks proklamasi. Aku kembali fokus memperhatikan Sami yang mulai mempresentasikan temuannya.
"sini kak, dengarkan Sami! Suara bebek itu seperti ini..."
Ada-ada saja anak ini membuat kakaknya penasaran. Bukankah suara bebek memang wek wek wek seperti stiker whatsapp yang digunakan orang-orang untuk mengekspresikan tawa. Oke, kita dengarkan lagi kira-kira Sami mau bilang apa.
"suara bebek itu oek, oek, oek"
Sontak aku langsung tertawa mendengarkan suara bebek Sami. Hahaha
"kakak nggak boleh tertawa, kalau Sami bicara nggak boleh diketawain"
Hampir saja Sami ngambek dan marah. Perlahan tawaku mulai mereda saat aku mengingat kembali bahwa 'bebek' dalam bahasa Turki itu memiliki makna 'bayi'. Akhirnya aku paham kenapa Sami mengoreksi suara bebek yang aku buat dalam dongeng.
Sami adalah tetangga kami yang berkebangsaan Turki. Saat ini dia duduk di kelas 1 sekolah dasar di daerah Kalimantan Selatan. Perbedaan bahasa sering kali memunculkan kisah lucu yang mengundang gelak tawa. Kisah tentang bebek ini pun sudah sering aku dengar dari teman-teman semasa kuliah di Semarang dulu. Temanku ini adalah mahasiswa asing dari Turki. Dia pernah bercerita tentang pengalamannya berkunjung ke sebuah warung makan. Saat membaca menu yang disediakan dia merasa takut dan tak habis pikir. Kenapa orang Indonesia suka makan bebek goreng. Begitulah makna yang mereka tangkap adalah bebek itu bayi. Lama kelamaan mereka mulai memahami bahwa bebek adalah nama sejenis unggas yang biasa disantap bersama nasi, bisa berupa bebek goreng, bebek bakar, dan lain sebagainya.
Saat mengingat kisah semasa kuliah dulu aku pun iseng bertanya kepada Sami. Apakah dia pernah makan bebek goreng? Ternyata responnya sangat lucu, raut mukanya perpaduan antara takut dan marah. Hal ini membuatku tertawa lagi dan lagi.
Dari kisah bebek ini kita bisa memetik hikmah. Jadi hikmah adalah sejenis buah yang bisa dipetik. Dia bisa tumbuh di mana saja tapi hanya orang-orang spesial yang mampu meraih dan memetiknya. Hikmahnya adalah kita harus lebih teliti dan hati-hati dalam berkomunikasi. Baik terhadap lawan bicara dari mancanegara maupun teman satu negara. Ketika kesalahan persepsi kita mengundang kelucuan akan sangat menghibur dan kita menjadi awet muda karena tertawa.Â
Namun bagaimana jika kesalahan persepsi kita justru mendatangkan bencana? Karena sesungguhnya komunikasi itu hal yang sering kita lakukan namun terkadang ilmu kita masih sangat kurang. Kesalahan pelafalan dalam bahasa asing bisa mencipta makna baru, kesamaan pelafalan pun bisa menghadirkan makna baru jika konteksnya berbeda. Kita semua tahu bahwa negara kita tercinta Indonesia memiliki beragam bahasa dan budaya. Sudah sepatutnya kita terus belajar mengenal negeri ini dan menjadikan beragam perbedaan sebagai kekayaan yang harus dijaga. Sehingga nantinya benih-benih keragaman ini menumbuhkan jiwa-jiwa toleransi, saling memahami, dan saling menghargai untuk menghasilkan buah keragaman yang indah dan mempesona.
Selain kisah tentang bebek, aku juga ingin berbagi tawa dan menebar kisah lucu lainnya. Semoga hari-hari kita dipenuhi dengan kebahagiaan dan gelak tawa.
Apakah kalian mengenal masker? Nah betul sekali masker yang biasa kita pakai di wajah pada malam hari agar kulit wajah kita lebih sehat dan cerah memancarkan keindahan. Tapi bukan masker yang itu, di masa pandemi ini tentunya kita lebih akrab dengan masker kesehatan. Terkadang masker menjelma topeng yang menyamarkan wajah pemakainya hingga sulit dikenali. Segala ekspresi wajah pun sulit ditebak, apakah ia sedang tersenyum, manyun, atau memiringkan mulutnya. Oke, tidak perlu dipraktikkan dengan menggerak-gerakkan mulut seperti ini. Aku tahu ekspresi itu sulit untuk ditangkap indera penglihatan karena masker telah melekat rapat.
Industri kreatif rumahan mulai menjamur. Meski jarak mulai dibatasi dengan ketat, inovasi dan kreativitas tetap bisa berlarian tanpa batas. Hadirlah masker dengan berbagai motif, mulai motif beraneka warna, bunga-bunga, hingga motif wajah. Sekali lagi masker berhasil menyamarkan ekspresi wajah penggunanya. Beraneka motif wajah mulai membanjiri pasar, motif tersenyum, wajah tokoh, dan lain sebagainya menjadikan penggunanya bak manusia bertopeng yang sedang menyamar. Di sepanjang jalan banyak wajah-wajah bertopeng yang bersembunyi dari musuh terbesar abad ini, virus korona.
Sampai di sini ada yang sudah bisa menemukan kelucuan dari kisah masker ini? Mari kita renungkan betapa lucunya kisah lucu yang tak menyimpan kelucuan. Dan izinkan aku tertawa atas ketidak lucuan ini. Baiklah, kalian masih mau lanjut menyimak kisah ini atau tidak? Meski sebenarnya tanpa persetujuan kalian, kisah ini akan tetap aku tuntaskan.
Ada beberapa cara memakai masker yang cukup menggelitik. Di sebuah postingan temanku sedang menikmati makan siang di sebuah tempat makan. Pandangan mataku tertuju pada bando yang bersarang di atas kepalanya. Setelah lama mengamati dan memperbesar gambar, akhirnya tampak jelas bahwa benda yang tak asing itu bukanlah bando melainkan masker yang dipasang di atas dahi. Mungkin niatnya agar masker tidak kotor dan tidak tergeletak sembarangan. Lambat laun masker bando ini mulai merebak ke mana-mana. Entah siapa yang mengawalinya kini beberapa orang tak lagi canggung mengalihfungsikan masker menjadi bando.Â
Gaya terbaru yang mulai digandrungi kawula muda, bahkan emak-emak adalah kalung masker. Jika sebelumnya dunia permaskeran diramaikan dengan pengait masker, kini kreativitas semakin meningkat dengan hadirnya kalung masker. Mungkin kalung masker ini akan sangat cocok bagi mereka yang sering kali lupa memakai masker ketika bepergian. Namun apa jadinya jika si pemakai masker ini orang yang pelupa? Dia akan kebingungan mencari maskernya yang entah di mana. Sampai akhirnya teman di sebelahnya menepuk bahunya dan berkata:
"kamu lagi nyari apa?"
"tahu nggak di mana maskerku?
"entahlah, yang aku lihat hanya kalung unik nan elegan yang bergelantungan di lehermu, hahaha"
"astaga, dari tadi maskernya aku kalungin ternyata, hahaha"
Begitulah perjalanan masker yang menjelma jadi topeng, bando, dan kalung. Semoga si masker tetap mengingat jati dirinya, yaitu menjadi wasilah penyaring udara yang akan dihirup penggunanya. Jika udara dari luar saja harus disaring agar kita dapat menikmati udara bersih, lantas bagaimana dengan ucapan dan kata-kata yang keluar dari mulut kita? Sudahkah ia disaring agar angin sejuk yang berupa pendapat dan nasihat dapat menyejukkan hati pendengarnya? Semoga masker yang melekat erat menutup mulut dan hidung kita dapat menjadi wasilah bagi kita untuk menyaring dan menghias tutur kata yang sejuk dan meneduhkan.
Sekian kisah lucu yang menyimpan misteri kelucuan. Mari kita tertawakan diri kita sendiri atas kelucuan yang tidak disadari maupun ketidak lucuan yang ditertawai. Karena sejatinya di setiap detak jantung dan hembus nafas kita selalu dipenuhi kelucuan. Lucunya diri yang tak menyadari kesalahan, lucunya diri yang enggan berbenah, dan lucunya diri yang tak mengakui kefanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H