Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Relawan - Jejak Pena

Menulislah, karena menulis itu abadi. Tinggalkan jejak kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepompong

6 Januari 2023   10:27 Diperbarui: 6 Januari 2023   10:28 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 KEPOMPONG

Di sebuah taman bunga yang indah banyak sekali kupu-kupu beterbangan. Elok warna sayapnya memanjakan mata siapa saja yang memandang. Bunga beraneka warna menghias taman yang asri. Puspa masih memejamkan mata sambil menghirup udara pagi yang manis. Aroma rumput basah menjadi sihir yang membawa Puspa terbang jauh ke alam mimpi. Sedetik kemudian ia terkesiap, matanya terbuka, dan tetes demi tetes air hujan mulai berjatuhan. Puspa segera beranjak dan mencari tempat berteduh. Di sebuah bangku panjang ada seorang gadis seumurannya yang sedang duduk manis. Puspa segera menghampiri gadis berkerudung jingga itu dan duduk di sebelahnya.

“Hai, selamat sore, namaku Puspa,” ucap Puspa sambil mengulurkan tangannya.

“Hai, namaku Senja,” jawab gadis berkerudung jingga itu sambil tersenyum manis.

Puspa adalah seorang mahasiswi jurusan Bahasa Perancis, sedangkan Senja adalah mahasiswi jurusan Bahasa Arab. Keduanya kuliah di sebuah universitas negeri yang terletak jauh dari pusat kota. Kampus mereka berada di atas gunung yang teduh, asri dan sangat nyaman untuk belajar. Mahasiswa di sini ramah, sopan, berjiwa tangguh dan pantang menyerah. Gedung jurusan Puspa dan Senja saling bersebelahan, tetapi mereka tak saling mengenal. Takdir Tuhan mempertemukan mereka saat hujan turun sangat deras. Saat itulah mulai tumbuh benih-benih persahabatan.

Persahabatan memang tak memandang rupa dan harta. Ibarat langit dan bumi yang berjarak tetapi keduanya saling bersahabat dan saling membutuhkan. Bumi membutuhkan hujan yang turun dari langit agar pepohonan dapat tumbuh subur dan meneduhkan. Langit juga membutuhkan bumi yang menyimpan banyak tumbuhan agar udara terjaga dan birunya langit terpancar indah. Ketika langit menangis, bumi dengan sabar menemaninya dan menampung tangisnya. Begitu juga dengan persahabatan Puspa dan Senja, mereka adalah dua insan yang sangat berbeda. Puspa adalah seorang anak pengusaha yang hidup bergelimang harta, sedangkan Senja adalah gadis kampung yang hidup dalam keterbatasan. Perbedaan ini tidak lantas memberi jarak tetapi membuat ikatan persahabatan mereka terjalin kuat.

Puspa tinggal di sebuah kontrakan besar kompleks perumahan elit. Dia adalah seorang gadis yang sangat cantik. Banyak sekali pria yang mencoba mendekatinya, tapi dia tidak menanggapinya. Dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan merawat tanamannya. Puspa sangat menggemari tanaman dan bunga-bungaan, sangat cocok dengan namanya. Di halaman kontrakannya pun penuh dengan bunga-bunga indah beraneka warna.

Senja, gadis manis berkacamata yang suka menyendiri dan mengisi hari-harinya dengan kegiatan menulis. Senja tinggal di sebuah rumah belajar dekat kampus. Di rumah belajar ini banyak program pengembangan diri yang dipersiapkan untuk para generasi emas. Setiap malam, Senja dan para penghuni rumah belajar selalu melaksanakan program pengembangan diri dan di akhir pekan mereka melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat.

Ujian akhir semester telah selesai dan para mahasiswa telah sibuk mengatur jadwal liburan maupun jadwal pulang kampung. Biasanya Puspa selalu menghabiskan masa-masa liburan ke luar negeri. Namun liburan semester kali ini dia tidak bisa ke luar negeri. Jangankan ke luar negeri, untuk mudik saja sangat susah. Pemerintah telah melayangkan surat pemberitahuan bahwa mudik tahun ini ditiadakan. Seluruh masyarakat dihimbau untuk tidak bepergian jauh dan selalu menjaga jarak. Puspa sangat sedih karena tidak bisa berkumpul bersama keluarga saat lebaran tiba. Sedangkan Senja sudah terbiasa menghabiskan masa liburan di rumah belajar dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan dan bermanfaat. 

Pagi ini Senja sedang berjalan menyusuri taman perpustakaan kampus. Saat sampai di samping air mancur dia menghentikan langkahnya. Ada seorang gadis yang seumuran dengannya sedang menangis. Senja mendekat dan menepuk bahu gadis itu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Senja

“Wa’alaikumussalam,” jawab gadis itu sambil menoleh ke belakang

“Puspa, kenapa kamu sendirian di sini? Tunggu sebentar, kamu menangis ya?”

Tanpa menjawab pertanyaan Senja, Puspa langsung memeluk sahabatnya dengan erat. Tangisnya semakin terisak-isak  dan air matanya ikut membasahi kerudung Senja.

“Coba tenangkan pikiran dulu, hapus air matamu dan ceritakan perlahan,” kata Senja sambil menepuk-nepuk pundak Puspa.

“Senja, apakah kamu tidak sedih mendengar kabar tentang larangan mudik tahun ini?”

“Tentu saja aku sangat sedih. Sudah lama aku tidak pulang kampung dan momen mudik tahun ini tinggallah angan. Tapi mau bagaimana lagi? Insyaallah keputusan pemerintah adalah keputusan yang terbaik dan tentu saja sudah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Kita pasti tahu bahwa hasil musyawarah adalah jalan terbaik yang harus kita ikuti.”

“Tapi bagiku ini adalah momen yang sangat berat untuk dijalani. Aku tidak bisa menghabiskan liburan ke luar negeri bersama keluarga. Aku tidak bisa menghabiskan waktu untuk keliling Mall dan berbelanja barang-barang kesukaan. Aku mana tahan hidup terkurung seperti ini,” panjang lebar Puspa mencurahkan isi hatinya dan terus menangis.

“Coba kita analisis kira-kira aktivitas yang kamu sebutkan tadi apakah layak untuk ditangisi? Pertama, kita terkurung secara fisik tapi di sisi lain pikiran kita mampu berkelana melintasi jagad raya. Kedua, kita harus berjarak secara fisik, namun coba kita tengok bagaimana kemajuan teknologi mampu menyatukan ruang dan waktu sehingga kita masih bisa bertatap maya untuk sekedar melepas rindu.”

Perlahan Puspa mulai berhenti menangis. Dia mencoba tersenyum dan bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan seorang bidadari berkerudung jingga yang selalu meneduhkan hati dan menenangkan pikiran.

“Benar juga apa yang kamu katakan Senja. Tak sepatutnya aku menangisi keadaanku saat ini. Oh iya Senja, bolehkan aku ikut tinggal di rumah belajar selama liburan ini?”

“Tentu saja sangat diperbolehkan. Bukankah sudah sejak lama aku mengajakmu berkunjung ke rumah belajar? Alhamdulillah akhirnya hari ini kamu berkenan tinggal di rumah belajar.”

“Alhamdulillah, terima kasih banyak Senja. Insyaallah hari ini aku akan berkemas dan semoga lusa aku bisa pindahan ke rumah belajar. Aku tidak mau menghabiskan liburan sendirian di kontrakan.”

“Baiklah Puspa, mari kita cari sarapan dulu. Kamu pasti belum makan kan?”

“Iya, aku sudah lapar. Yuk kita ke pasar Krempyeng.”

“Siap, aku juga lapar dan sudah lama tidak membeli nasi Krempyeng”

Mereka pun melanjutkan jalan pagi menuju pasar Krempyeng. Pasar ini adalah semacam pasar pagi yang menjual sayuran dan lauk pauk. Setiap pagi banyak mahasiswa yang membeli sarapan di sini. Nasi Krempyeng adalah sejenis nasi gudangan dengan tambahan rempeyek khas pasar Krempyeng yang menjadi menu favorit mahasiswa. Setelah selesai sarapan, Puspa dan Senja pun pulang ke tempat tinggal masing-masing. 

Setelah sampai di kontrakan, Puspa segera mandi dan membereskan rumah. Satu jam kemudian dia baru ingat kalau dia belum memberi kabar kepada orang tuanya tentang rencana pindah ke rumah belajar. Tak menunggu waktu lama, Puspa segera meraih handphone yang tergeletak di ranjangnya. 

“Assalamu’alaikum, halo Mama,”

“Wa’alaikumussalam, masyaallah Puspa apa kabar?”

“Alhamdulillah Puspa sehat, Mama dan Papa apa kabar? Puspa rindu”

“Alhamdulillah kami juga sehat. Hanya saja Papa kamu itu makin hari makin sibuk di kantor dan sering pulang larut malam”

“Memang kerjaan Papa banyak ya Ma? Semoga sehat selalu.”

“Aamiin, oh iya ada apa Puspa? Liburan kali ini kamu mudik kan?”

“Itu yang mau Puspa bicarakan, Ma. Sepertinya liburan kali ini Puspa tidak bisa mudik karena ada larangan mudik dari pemerintah.”

“Terus kamu tinggal sendirian di kontrakan? Kenapa tidak mudik saja, nanti biar Papa jemput kamu.”

“Tidak apa-apa Ma, Puspa juga mau mengabari kalau Puspa berencana untuk tinggal di rumah belajar selama liburan semester ini. Selama bulan Ramadhan juga akan ada banyak kegiatan di rumah belajar. Jadi Puspa tidak akan kesepian.”

“Syukurlah kalau begitu. Mama mengizinkan Puspa untuk tinggal di rumah belajar. Yang terpenting kamu harus selalu jaga kesehatan dan jaga diri baik-baik.”

“Siap Ma, oke deh Puspa mau mengemasi barang-barang dulu. Salam untuk Papa ya, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Panggilan telepon sudah diakhiri. Meskipun mama Puspa sudah memberi izin, tapi beliau sebenarnya kasihan dengan anak semata wayangnya. Bagaimana kalau anaknya tidak makan, bagaimana kalau anaknya sakit, dan kekhawatiran lainnya.

Hari ini adalah hari di mana Puspa untuk pertama kalinya meninggalkan kehidupannya yang mewah. Dia akan hijrah ke sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh lima orang ditambah dirinya. Ada tiga kamar tidur yang masing-masing kamar ditempati oleh dua orang. Puspa tidak satu kamar dengan Senja. Dia menempati sebuah kamar yang sangat rapi. Ada dua ranjang yang dipisah oleh dua meja belajar. Kamarnya memang tidak terlalu luas, tapi terasa nyaman untuk ditempati. Fitri, teman sekamar Puspa adalah seorang mahasiswa baru jurusan Bimbingan Konseling. Fitri adalah seorang mahasiswa yang rajin dan mudah bergaul. Tak butuh waktu lama Puspa dan Fitri berteman akrab dan sering bertukar pikiran atau lebih tepatnya Puspa sering curhat kepada Fitri tentang masalah yang dia alami ataupun perasaan yang dia rasakan. Dan Fitri pun aktif memberikan respon yang baik dan cukup membantu.

Pagi ini semua penghuni rumah belajar sedang sibuk membersihkan rumah dan bersiap menyambut datangnya bulan Ramadhan. Mereka membagi tugas agar pekerjaan cepat selesai. Setelah membersihkan rumah mereka menghias rumah dengan kertas-kertas hias dan beberapa tulisan motivasi. Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan. 

“Siapa yang mau makan maklube?” Maklube adalah masakan khas Turki berupa campuran nasi, sayur, dan daging yang dimasak di sebuah panci.

“Wah, terima kasih banyak kak Senja yang sudah repot-repot masak” ucap Fitri dengan penuh semangat karena dia sudah lama tidak makan maklube.

“Itu makanan apa Senja? Namanya terdengar asing.” Kata Puspa dengan raut muka yang penasaran.

“Ini adalah salah satu makanan khas Turki. Momen paling dinanti dan paling mendebarkan adalah saat kita menuangnya di atas nampan bulat besar.”

Semua penghuni rumah belajar memperhatikan Senja dengan seksama. Perlahan Senja membalikkan panci dan gunungan nasi berlapis sayur dan daging telah siap disantap. Mereka duduk melingkar dan menikmati makan siang yang sangat istimewa.

Bulan Ramadhan tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya. Awalnya Puspa sedih karena kondisi pandemi yang melanda negeri ini telah menghancurkan rencana liburannya. Namun pada akhirnya dia sangat bersyukur karena Tuhan telah menuntun langkahnya menuju rumah belajar. Banyak sekali program spesial Ramadhan yang disuguhkan di rumah belajar. Puspa mengikuti semua kegiatan dengan sangat antusias. 

Ada sebuah momen yang memberikan tamparan keras untuk Puspa sampai dia tak mau makan dan hanya berbuka puasa dengan teh manis. Sore itu penghuni rumah belajar mengadakan program berbagi menu buka puasa untuk orang-orang yang tinggal di sepanjang bantaran sungai Gede. Saat itu Puspa bertemu seorang kakek tua yang mengayuh becak. Puspa segera menghampiri beliau dan memberikan bungkusan yang berisi menu buka puasa. Sang kakek mengucapkan terima kasih dan tersenyum manis. Beliau juga berpesan kepada Puspa untuk rajin ibadah dan senantiasa bersyukur bagaimanapun keadaannya, karena dunia ini hanya tempat untuk singgah bukan tempat menetap. Karena sesungguhnya kampung halaman kita yang hakiki adalah kampung akhirat.

Puspa sangat beruntung lahir dan dibesarkan di keluarga yang berkecukupan. Apapun yang dia butuhkan dan inginkan pasti akan segera dia dapatkan. Jarang sekali dia merasakan bagaimana pahit getirnya perjuangan. Sampai akhirnya bulan Ramadhan menjadi momen bagi Puspa untuk lebih mengenal kehidupan. Bagaimana rasanya berjuang untuk bertahan hidup di tengah kondisi ekonomi yang menjerat. Bagaimana seorang kakek tua masih mampu mengayuh becak dengan senyum lebarnya. Serta pelajaran-pelajaran berharga lainnya yang perlahan mencubit relung hati Puspa.

Satu bulan mulia telah terlewati. Besok adalah hari kemenangan, yaitu hari raya Idul Fitri yang menjadi hadiah manis bagi hamba-hamba yang berhasil melewati Ramadhan. Lebaran kali ini Puspa menghabiskan waktu untuk mengunjungi orang-orang pinggiran di bantaran sungai Gede. Seharian penuh Puspa bercengkrama bersama kakek tua. Pada kesempatan ini Senja juga ikut menemani Puspa berbagi kebahagiaan. Bulan Ramadhan bagaikan kepompong yang mengubah Puspa menjadi manusia baru yang lebih baik lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun