Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Relawan - Jejak Pena

Menulislah, karena menulis itu abadi. Tinggalkan jejak kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepompong

6 Januari 2023   10:27 Diperbarui: 6 Januari 2023   10:28 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Wa’alaikumussalam,” jawab gadis itu sambil menoleh ke belakang

“Puspa, kenapa kamu sendirian di sini? Tunggu sebentar, kamu menangis ya?”

Tanpa menjawab pertanyaan Senja, Puspa langsung memeluk sahabatnya dengan erat. Tangisnya semakin terisak-isak  dan air matanya ikut membasahi kerudung Senja.

“Coba tenangkan pikiran dulu, hapus air matamu dan ceritakan perlahan,” kata Senja sambil menepuk-nepuk pundak Puspa.

“Senja, apakah kamu tidak sedih mendengar kabar tentang larangan mudik tahun ini?”

“Tentu saja aku sangat sedih. Sudah lama aku tidak pulang kampung dan momen mudik tahun ini tinggallah angan. Tapi mau bagaimana lagi? Insyaallah keputusan pemerintah adalah keputusan yang terbaik dan tentu saja sudah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Kita pasti tahu bahwa hasil musyawarah adalah jalan terbaik yang harus kita ikuti.”

“Tapi bagiku ini adalah momen yang sangat berat untuk dijalani. Aku tidak bisa menghabiskan liburan ke luar negeri bersama keluarga. Aku tidak bisa menghabiskan waktu untuk keliling Mall dan berbelanja barang-barang kesukaan. Aku mana tahan hidup terkurung seperti ini,” panjang lebar Puspa mencurahkan isi hatinya dan terus menangis.

“Coba kita analisis kira-kira aktivitas yang kamu sebutkan tadi apakah layak untuk ditangisi? Pertama, kita terkurung secara fisik tapi di sisi lain pikiran kita mampu berkelana melintasi jagad raya. Kedua, kita harus berjarak secara fisik, namun coba kita tengok bagaimana kemajuan teknologi mampu menyatukan ruang dan waktu sehingga kita masih bisa bertatap maya untuk sekedar melepas rindu.”

Perlahan Puspa mulai berhenti menangis. Dia mencoba tersenyum dan bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan seorang bidadari berkerudung jingga yang selalu meneduhkan hati dan menenangkan pikiran.

“Benar juga apa yang kamu katakan Senja. Tak sepatutnya aku menangisi keadaanku saat ini. Oh iya Senja, bolehkan aku ikut tinggal di rumah belajar selama liburan ini?”

“Tentu saja sangat diperbolehkan. Bukankah sudah sejak lama aku mengajakmu berkunjung ke rumah belajar? Alhamdulillah akhirnya hari ini kamu berkenan tinggal di rumah belajar.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun