" Yang sabar ya, An," Mba Lia mencoba menenangkanku.
" Iya, mba,"
Rasanya saat itu aku menjadi topik pembicaraan. Menjadi orang 'yang tak becus bekerja' pikirku.
" Udah ngga papa, emang gitu, sukanya geger dulu," Salah seorang bapak supervisor yang bekerja denganku mendekatiku.
" Mungkin kalo orang lan jadi kamu, sudah nangis dia," tambahnya.
" Enggaklah." sangkalku.
Aku melanjutkan pekerjaanku seperti biasa. Oh ya, terkadang aku memang harus terjun ke lapangan untuk menfollow up ini itu. Hal yang baru bagiku. Bertemu lebih banyak orang, bahkan terkadang mendengarkan satu dua keluh kesah mereka.
" Emang gitu mba kalo disini, banyak orang ngga mau disalahkan jadi mereka menyalahkan orang lain. Pernah dulu pun kami disalahkan karena supply ini itu tapi disana overload jadi udah ngga ada tempat. Kami disuruh menaruhnya di bukan tempat seharusnya. Satu dua hari ngga ada masalah. Tapi pas ada audit, semua harus di bawa ke warehouse lagi dan tentu kami yang disalahkan. Lihatlah orang yang menyuruhnya pun ngga melakukan apapun. Begitulah mba kalo jadi bawahan."
" Emang gitu toh, mas? Pas aku dimarahin, kedengeran sampe sini juga toh?" tanyaku
" Kedengeran lah, mba."
Setidaknya aku sudah lebih tenang sekarang. Walaupun banyak mata yang menatapku dengan tatapan lain ketika aku melewati banyak orang.Â