Pengakuan hak ulayat dalam kawasan hutan adalah prasyarat penting untuk menghindari konflik tenurial yang berkepanjangan. Konflik tenurial ini telah memakan biaya, energi, serta dampak buruk bagi keberlangsungan ekosistem hutan. Kajian ini menggambarkan kendala-kendala pengelolaan hutan telah dimulai dari proses awal, yaitu sejak tahap perencanaan hutan dan penetapan kawasan hutan.Â
Artinya persoalan mendasar pengelolaan hutan adalah ketidakpastian hak, bukan hanya pada akses atas sumber daya. Penolakan masyarakat adat malalo tigo jurai atas penunjukan kawasan hutan lindung Bukit Barisan I yang tumpang tindih dengan wilayah adatnya sebagai contoh kasus.Â
Kasus tersebut juga menunjukan bahwa legitimasi sosial dan politik kepada Negara atas kawasan hutan minim, sehingga dukungan-dukungan masyarakat yang hidup dan bergantung pada hutan sulit untuk dicapai. Dampaknya menjalar sampai tingkatan yang lebih operasional dalam pengelolaan hutan, seperti kegagalan-kegagalan pelaksanaan program pengelolaan hutan dan minimnya dukungan masyarakat atas kelembagaan pengelolaan hutan negara ditingkat tapak.
Kepustakaan
Afrizal, 2013, Institusi Penguasaan Tanah Dan Konflik Agraria Struktural di Indonesia: Kasus Kehutanan Dan Perkebunan, Makalah, Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli: Medan
Arizona, dkk 2013, Anotasi Keputusan MK. 45 Tahun 2011 Â tentang Pengujian Konsitusinalitas Kawasan Hutan dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, HuMA & Epistema Institute, Jakarta.
Desriko, dkk. 2014. Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal, ARIFHA, Padang.
Suharjito, Didik dan Haryanto R.Putro (ed). 2013. Pembangunan Kehutanan Indonesia Baru : Refleksi dan Inovasi Pemikiran, Bogor, IPB Press.
Firdaus, Asep Yunan, dkk. 2007. Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia. HuMa. Jakarta
Firmansyah, Nurul, dkk.2007. Dinamika Hutan Nagari di Tengah Jaring-Jaring Hukum Negara, Perkumpulan HuMA, Perkumpulan Qbar, Jakarta.
Hidayat, Rahmad, Â dkk. 2003. Â Parak Mutiara di Tepi Danau, Yayasan Warsi, Jambi.