Di Kabupaten Merangin, Jambi, Â dilakukan dengan SK Bupati Merangin No. 287 Tahun 2003 Tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Pilihan bentuk pengakuan dalam bentuk sertipikat membenarkan bahwa Perda TUP lahir guna dimanfaatkan bagi kepentingan ekonomi yang terbuka dengan pihak investasi yang membutuhkan kepastian hak dalam berinvestasi.
2. Wacana Kritis Pendaftaran Tanah Ulayat
Kritik terhadap sertifikasi juga muncul karena anggapan bahwa sertifikasi yang didorong oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ditujukan bagi terciptanya pasar tanah dimana tanah-tanah, termasuk tanah ulayat, dapat mudah dipertukarkan dengan mekanisme pasar dan memberikan kepastian hukum dari pencapaian penjualan tersebut. Kondisi dapat berakibat semakin lemah dan hilangnya tanah ulayat di Sumatera Barat. Tekanan dari lembaga internasional itu dipaparkan oleh Bonnie Setiawan sebagai berikut:[4]
Lewat Land Administration Project (LAP), Pemerintah (dan BPN) bersama dengan Bank Dunia dan AusAid sedang menjalankan suatu mega-proyek mengenai deregulasi pertanahan dengan istilah "Land Resource and Management Planning" yang akan berlangsung selama 25 tahun (1995-2020). Proyek tersebut dilakukan dengan merancang suatu desain perubahan manajemen dan administrasi pertanahan yang tujuan akhirnya adalah terciptanya pasar tanah (land market). Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap setiap lima tahun.
LAP I (1995-2000) menelan biaya sebesar US$ 140,1 juta, didanai dari anggaran nasional sebesar US$44,9 juta (32%), pinjaman dari Bank Dunia US$ 80 juta (57%) dan sisanya US$ 15,2 juta (11%) adalah grant dari AusAid. Meskipun program ini telah ditentang oleh aktivis, akan tetapi mereka tetap jalan terus. Terakhir LAP II akan kembali dilaksanakan, dan akan mulai memasukkan obyek tanah masyarakat adat, karena sudah adanya pilot proyek sebelumnya yang dijalankan di Sumatera Barat. Rencananya LAP II akan bernilai sebesar US$ 110 juta, yaitu US$ 20 juta dari pemerintah Indonesia dan US$ 90 juta dari pinjaman Bank Dunia.
Dengan perspektif pluralisme hukum, Ade Saptomo menyampaikan bahwa di balik sertifikat juga lahir asumsi inkoorporasi antara hukum adat dengan hukum nasional, yaitu hukum adat menerima sebagian unsur hukum negara dan hukum negara menerima sebagian hukum lokal (adat).[5] Artinya, sebagian warga masyarakat di suatu tempat bersedia menerima unsur hukum negara dan hukum negara pun "tidak keberatan" untuk mengakomodasi keinginan warga.
Hal ini dapat ditafsir pada sebuah fenomena sertifikasi hak atas tanah ulayat dimana di halaman depan sertifikat tertulis satu nama penghulu suku atau mamak kaum atas sebidang tanah, sementara di balik sertifikat dimaksud tertuang sejumlah nama-nama kemenakan penghulu suku sebagai pemilik bersama.[6]
Pandangan diatas hampir sama dengan pandangan John Griffiths yang menyatakan bahwa keterbukaan hukum negara -- yang pada dasarnya bersifat generalis dan tidak mengenal pembedaan -- terhadap sistem hukum adat yang lokalitas dan beragam merupakan salah satu cara penguatan dari sentralisme hukum negara.
Griffiths menyatakan sentralisme hukum menggunakan pluralisme hukum sabagai salah satu upaya untuk mengakomodir situasi sosial yang dirasakan problematik dengan memberlakukan ketentuan-ketentuan hukum masyarakat lokal sebagai bagian ketentuan hukum yang tunduk pada hukum negara.[7] Dalam hal ini pluralisme hukum yang dibadankan dalam bentuk sertifikat.
Sertifikat kemudian dijadikan sebagai alat oleh sentralisme hukum negara untuk menundukkan keberagaman dan struktur hukum masyarakat atas sebidang tanah. Hal ini dapat membuat pengetahuan hukum adat tentang tanah ulayat akan berkurang karena sudah diganti dengan mekanisme hukum negara.