Mohon tunggu...
Nurul Hidayah
Nurul Hidayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ibu dua anak, PhD Student at Monash University Australia

Menyimpan jejak petualangan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Lika-liku Kuliah di Australia

24 Agustus 2022   07:52 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:00 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: pexel.com, Olya Kobruseva 

"Welcome picnic!" ucap seorang teman di PhD hub saat kami berkenalan. Ya, hari-hari pertama tiba penuh dengan euphoria biasanya. Namun setelah itu harus bersiap menerima pahitnya kenyataan. 

Kuliah di Australia tak selalu enak. Bila sesekali para pelajar mengunggah foto selfie di tempat-tempat wisata, sungguh itu hanyalah satu titik di balik beberapa kepahitan. 

Eits, saya membahas ini bukan untuk menakut-nakuti ya. Sekadar informasi agar siapa pun yang berniat kuliah di sini bersiap sekiranya menemukan hal-hal yang kurang mengenakan. Syukur-syukur bisa mengantisipasinya. 

Beberapa hal yang membuat saya mengelus dada dan menasehati diri "Sabar!" di antaranya:

1. Biaya Kuliah yang Tinggi

Pendidikan rupanya menjadi sektor bisnis yang cukup tinggi. Tak heran, biaya kuliahnya pun tinggi meski sepadan juga dengan sarana dan kualitas pendidikan yang berikan. 

Besaran uang kuliah tiap universitas, tiap jurusan, tiap jenjang berbeda-beda tentunya. 

Sebagai contoh untuk PhD in Education yang saya ambil di Monash University, biaya Pendidikan adalah sekitar 1,5 miliar rupiah untuk maksimal empat tahun pendidikan belum termasuk biaya asuransi. 

Sungguh angka yang tinggi menurut saya. Bagi saya yang seorang ASN, puluhan tahun menabung pun mungkin tak akan sampai. 

Tingginya biaya kuliah ini, tentu saja bukan alasan untuk berhenti berjuang masuk ke Universitas yang diimpikan. 

foto: pexel.com, Olya Kobruseva 
foto: pexel.com, Olya Kobruseva 

Bagi orang yang tajir melintir mungkin bisa dengan biaya sendiri atau beasiswa orang tua. Namun, bagi orang kurang modal seperti saya, mencari beasiswa adalah pilihan yang paling mungkin.

2. Tuntutan Akademik Tinggi

Dengan kualifikasi pengajar dan staf kelas dunia, wajar tentunya jika tuntutan akademik pun tinggi. 

Tugas harus dikumpulkan tepat waktu melalui flatform online dengan originalitas yang diperiksa ketat. 

Tak heran, kampus sering kali ramai hingga malam hari dipenuhi mahasiswa yang tengah mengerjakan tugas. 

Dari sisi riset juga cukup ketat. Untuk bidang sosial humaniora seperti pendidikan, sebelum turun lapangan harus memperoleh izin dari Komite Etik. Meski berupa observasi atau wawancara, riset kita akan dievaluasi apakah akan membahayakan mental responden atau tidak misalnya. 

Selain itu, tesis kita nantinya akan dinilai oleh beberapa eksper dunia bukan hanya yang ada di Australia. Terkadang ini bikin merinding, tapi tetap harus dijalani. 

Untungnya kita dibimbing oleh supervisor yang eksper dalam bidangnya serta tersedia beberapa layanan akademik maupun non akademik untuk membantu. 

Jika kita kesulitan dalam mencari literatur misalnya, kita bisa dibantu oleh pustakawan. Jika kita merasa stres karena beban akademik atau non-akademik, kita bisa meminta bantuan counselor.

3. Biaya Hidup Mahal

Biaya hidup di Australia terbilang tinggi terutama urusan akomodasi. Sewa rumah dengan dua kamar tidur di suburb sekitar Melbourne misalnya paling murah adalah 1400 AUD per bulan (sekitar 14,5 juta rupiah). Belum lagi biaya tagihan listrik, air, gas serta transportasi dan makanan.

Bila kita membawa anak di bawah usia SD, biaya penitipan anak juga cukup tinggi. Sekitar 100 hingga 150 AUD per hari kalau anak dititipkan ke daycare. 

Jika ingin menyewa baby sitter ke rumah, biayanya lebih mahal lagi. Sekitar 40 AUD perjam, sekitar empat ratus ribu rupiah per jam. 

Bagi mahasiswa dengan beasiswa AAS (Australia Award Scholarship) ada keringanan biaya daycare hingga 70% kalau tidak salah. Namun, bagi mahasiswa di luar AAS harus modal sendiri full.

4. Wajib Bahasa Inggris

Namanya juga English speaking country, mau tidak mau kita harus menggunakan Bahasa Inggris baik di kampus maupun dalam pergaulan sehari-hari dengan orang sekitar. 

Aksen Inggris Australia sedikit berbeda. Awal-awal loading agak lama saat mendengarkan mereka berbicara. Terlebih bagi saya yang tidak berlatar belakang jurusan Bahasa Inggris. Bahasa menjadi bagian yang cukup butuh perjuangan. 

Untungnya supervisor saya sudah terbiasa dengan mahasiswa internasional sehingga mereka berdua memaklumi jika ada bahasa yang agak keliru. 

Dalam pergaulan sehari-hari, kita akan bertemu dengan aksen yang bermacam-macam karena orang-orang sekitar berasal dari berbagai negara. 

Ada yang bahkan menggunakan google translate. Dia berbicara dengan bahasanya kemudian memperlihatkan terjemah Bahasa Inggris di HP-nya. Ada-ada saja!

5. Cuaca Ekstrim dan Udara Kering

Terbiasa dengan cuaca dengan variasi yang tidak terlalu kentara, saya hampir syok dengan cuaca di sini. Saat summer panas sekali, sedangkan saat winter dinginnya gak ketulungan. 

Untunglah suhu Melbourne tak sampai di bawah nol saat winter. Hanya tempat-tempat tertentu yang bersalju seperti Mount Buller atau Lake Mountain. 

Selain itu, kelembapan udara di Australia sangat rendah. Hal ini membuat kulit mudah kering dan bersisik dan hidung mudah berdarah. 

Saat di Indonesia, kulit saya termasuk berminyak, namun begitu tiba di sini berubah kering kerontang.

6. Tidak Ada Asisten Rumah Tangga

Salah satu hal yang cukup menguras energi dan kewarasan adalah tidak ada asisten rumah tangga. 

Di tanah air, kita bisa menyewa asisten rumah tangga dengan harga terjangkau. Tugasnya bisa macam-macam, dari bersih-bersih rumah, cuci piring, cuci baju, setrika, hingga memasak. 

Di sini rasanya saya belum pernah melihat profesi itu. Paling banter cleaner yang tugasnya adalah bersih-bersih rumah dengan bayaran per jam 20-30 AUD. 

Maka, bagi yang berniat kuliah di Australia dengan membawa keluarga, perlu berlatih untuk mengelola rumah tanpa asisten. Kita harus siap berlelah-lelah belajar plus mengurusi rumah yang tak ada selesainya.

7. Susah Jajan

Di tanah air dulu, kalau tak sempat masak saya biasanya pergi ke warung nasi untuk membeli lauk pauk. Menyetop tukang sate yang lewat atau pergi ke luar untuk malam tidak sulit dilakukan.

Selain itu, aneka makanan bisa tiba di rumah dalam beberapa menit melalui aplikasi pemesanan online. 

Di sini, saat membeli makanan harus selektif mengecek kehalalannya. Selain itu, harga makanan jadi cukup tinggi, rata-rata 15-30 AUD per porsi. Harga segitu sudah lebih dari cukup untuk membeli bahan makanan dan dimasak sendiri untuk satu keluarga. 

Platform online juga cukup banyak sebenarnya, namun ya itu tadi harus selektif mengecek kehalalan dan harganya aduhai. Bisa bangkrut kalau jajan tiap hari.

8. Serba Denda

Saya terpesona dengan keteraturan yang ada di sini. Jalanan bersih, rumah-rumah dan pekarangan tertata dengan apik. Ternyata, salah satu rahasia di balik itu adalah denda. 

Suami saya pernah kena denda sekitar 100 AUD gegara dia tidak tahu kalau parkir di daerah tersebut harus bayar. Habisnya tak ada petugas parkir sih. 

Di banyak tempat seperti pusat perbelanjaan, parkir biasanya gratis. Nah ini, tahu-tahu ada surat ke rumah menagih biaya denda. Sekitar satu juta rupiah melayang karena ketidaktahuan. 

Usut punya usut ternyata ada aplikasi untuk pemesanan dan pembayaran parkir di tempat tertentu. Oalah, harus sigap lihat kanan kiri, baca rambu-rambu kalau pergi ke luar.

9. Jauh dari Keluarga dan Sanak Saudara

Ini nih yang kadang membuat mellow ingin pulang, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Biasanya kalau akan menghadapi peristiwa penting misalnya ujian, saya akan menemui ibu saya untuk memohon do'a. Kini hanya bisa dilakukan lewat telepon. 

Kalau ada keperluan, saya bisa menitipkan anak kepada saudara. Kalau kekurangan bahan makanan misalnya lupa membeli beras padahal sudah habis, saya tinggal mengetuk pintu rumah kakak ipar untuk meminjam. 

Di sini kami benar-benar harus mandiri, segala sesuatu harus diupayakan tertata dan terencana agar kegiatan sehari-hari tidak terkendala.

Itulah sekilas gak enaknya kuliah di Australia. Kendati demikian, sisi-sisi positifnya tentu banyak juga. 

Di tempat mana pun kita berada dua sisi positif dan negatif tentu saja merupakan dua hal yang harus kita terima dengan lapang dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun