Omnibus law terdiri dari kata omnibus dan law. Omnibus berasal dari bahasa Latin yang berarti segalanya, sedangkan law sendiri memiliki arti hukum. Dari itu dapat diketahui bahwa omnibus law merupakan hukum yang mencakup segalanya, mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal, serta mencakup berbagai isu dan topik. Omnibus law pertama kali disebutkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2019.
Namun, beberapa kabar sebelumnya pun berakhir dengan tidak mengenakkan, yaitu penempatan apoteker bersama dengan tenaga laundry dan pemulasaran jenazah sebagai tenaga non media dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020. Sedangkan, profesi apoteker sebagai tenaga kesehatan yang disumpah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya juga memiliki peran preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatifnya sendiri. Apoteker juga memiliki peran penting dalam upaya kefarmasian dan kesehatan dengan edukasi ke masyarakat. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mencakup apoteker sebagai tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam melakukan praktik kefarmasian.
Setelah itu, kabar buruk selanjutnya pun kembali datang, yaitu dicabutnya RUU Kefarmasian oleh Baleg DPR RI dari Prolegnas Prioritas tahun 2020 bersama dengan 15 RUU lainnya. Namun, berdasarkan pernyataan Emanuel Melkiades selaku anggota DPR RI dengan latar belakang apoteker menyatakan bahwa RUU Kefarmasian dalam Prolegnas prioritas tidak sepenuh nya dibatalkan, melainkan diundur ke tahun 2021. Hal ini dapat menjadi kesempatan untuk mematangkan dan memaksimalkan konsep RUU Kefarmasian dan diperkuat dengan adanya pembahasan terkait unsur pemerintah, seperti sinkronisasi dengan Kementerian Kesehatan dan Badan POM.
Selain itu, dalam RUU Cipta Lapangan Kerja dari omnibus law pemerintah hanya berfokus pada sektor perekonomian saja dan tidak mengindahkan beberapa sektor lain, termasuk sektor kesehatan. Terdapat beberapa pasal mengenai kefarmasian yang dihilangkan, termasuk terkait obat golongan psikotropika, narkotika, pelayanan kefarmasian, industri farmasi, serta Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Apotek.
Padahal jika ditinjau dari perundang-undangan yang ada dan berlaku saat ini, jauh sebelum omnibus law dikeluarkan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang membahas segala aspek mengenai bahan obat dan obat jadi narkotika, baik itu narkotika dan prekursornya, penggolongan narkotika, produksi, penyimpanan dan pelaporan, peredaran, penyaluran, penyerahan, pengobatan dan rehabilitasi, pembinaan, serta pengawasan. Selain itu, sebelumnya juga terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika yang membahas mengenai penggolongan, produksi, peredaran, pengawasan, serta penggunaan dan rehabilitasi dari bahan obat dan obat jadi golongan psikotropika. Namun, dengan adanya UU No. 35 Tahun 2009, maka UU No. 5 Tahun 1997 sudah tidak berlaku.
Dalam bidang pelayanan kefarmasian, sudah terdapat pula Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Dalam bidang industri farmasi, terdapat Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 16 Tahun 2013 Tentang Industri Farmasi dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional.
Bagai diiris dengan sembilu, lagi-lagi pada 24 November 2011, DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI menyatakan jika terdapat 38 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, namun tidak termasuk RUU Kefarmasian. Hal tersebut pun menyebabkan ISMAFARSI wilayah Timur mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam menyuarakan keresahan regulasi yang tidak menghargai dan tidak mengindahkan profesi kefarmasian.
Profesi kefarmasian, baik apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya, sangat berjasa dalam peningkatan dan pengembagan kesehatan nasional. Sebagian besar aktivitas dan tindakan medis yang dilakukan menggunakan obat dan alat kesehatan yang merupakan produk dari kefarmasian. Apoteker berperan dalam riset, uji klinis, produksi, distribusi, dan pelayanan obat di berbagai fasilitas kesehatan. Dengan surat tersebut diharapkan RUU Kefarmasian dapat segera ditangani agar profesi kefarmasian dengan segera memiliki payung hukum yang jelas.
Hingga saat ini, Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) telah mengajukan draft RUU Praktik Kefarmasian kepada DPR RI menggantikan RUU Kefarmasian. Emanuel Melkiades menyatakan masih terdapat harapan dan kemungkinan jika RUU Praktik Kefarmasian ini dapat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022. Praktik kefarmasian sendiri memiliki cakupan yang lupa, baik dari praktik mandiri di komunitas, praktik farmasi klinik, praktik farmasi veteriner, serta praktik dan evaluasi alat kesehatan dan perbekalan farmasi. RUU Praktik Kefarmasian ini sangat penting bagi apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya dalam menjelaskan kefarmasian apotek yang baik dan benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H