2. Permasalahan praktik kefarmasian di masyarakat yang belum memiliki ketentuan hukum yang pasti, seperti apoteker yang tidak berada di apotek, penjualan obat keras dan antibiotik secara bebas, serta transaksi obat dan resep palsu.
Beberapa hal yang melatarbelakangi pengajuan RUU Kefarmasian, antara lain:
1. Dalam pelayanan kesehatan dan kefarmasian yang berfokus kepada pasien, apoteker sebagai salah satu tenaga profesi kesehatan memiliki peran yang cukup penting, yaitu menjamin ketersediaan obat bermutu, menjamin efektivitas pengelolaan obat, serta menjamin keamanan dan kemanjuran obat terhadap pasien.
2. Jumlah apoteker dan tenaga kefarmasian di Indonesia per Desember 2019 yang mencapai angka lebih dari 63 ribu dengan tingkat pertumbuhan yang cukup cepat, yaitu sekitar 10% per tahun.
3. Keberadaan dan manfaat profesi apoteker dan tenaga kefarmasian yang belum banyak dirasakan oleh masyarakat, akibat pengetahuan masyarakat mengenai kefarmasian hanya sebatas pengelola dan penyedia obat. Oleh karena itu, praktik kefarmasian di Indonesia belum berjalan dengan optimal.
4. Diperlukannya suatu dasar hukum yang berisi konsep, strategi, dan mekanisme dalam mengatur peran pemerintah, organisasi profesi, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengembangan dan pertumbuhan pendidikan apoteker. Hingga saat ini, kurikulum pendidikan apoteker dan tenaga kefarmasian belum dirumuskan secara jelas dan terstruktur, yang berdampak dalam penyediaan fasilitas praktik kerja profesi apoteker dan tenaga kefarmasian.
5. Tingkat kesadaran apoteker dan tenaga kefarmasian yang masih rendah mengenai peran, tugas, dan wewenangnya yang mengakibatkan kehadiran dan keterlibatan apoteker di apotek masih jarang serta banyaknya pengalihan tugas dan wewenang apoteker kepada tenaga teknis kefarmasian.
6. Tingkat pengakuan peran apoteker dalam sistem kesehatan nasional yang masih rendah sehingga kurangnya keterlibatan apoteker dalam permasalahan dan perkembangan kesehatan secara nasional
Aksi dari mahasiswa tersebut pun membuahkan hasil, pada 28 November 2019, Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) melaksanakan forum diskusi guna membahas RUU Kefarmasian dengan mengundang segenap unsur pemerintah dan organisasi kefarmasian, yaitu Ditjen Farmalkes Kemenkes RI, Deputi I BPOM RI, Komisi Farmasi Nasional (KFN), Kolegium Ilmu Farmasi Indonesia (KIFI), Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI), Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia (APDFI), Asosiasi Pendidikan Menengah Farmasi Indonesia (APMFI), dan Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Indonesia (ISMAFARSI).
Hasil diskusi tersebut kemudian disampaikan kepada Komisi IX DPR RI dan pada 6 desember 2019, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM menyatakan terdapat 247 RUU yang dimasukkan ke dalam Prolegnas. Dari 247 RUU tersebut, terdapat sebanyak 50 RUU yang dijadikan prioritas pada tahun 2020, dengan RUU Kefarmasian berada di urutan ke-30.
Harapan dari para mahasiswa farmasi, apoteker, dan tenaga kefarmasian lainnya untuk memiliki Undang-Undang Kefarmasian pun semakin jelas. DPR RI secara resmi menyatakan RUU Kefarmasian dimasukkan dalam 4 kategori RUU Omnibus Law dari 50 Prolegnas Prioritas 2020.Â