Mohon tunggu...
Nurul Aisha Fitri Sultan
Nurul Aisha Fitri Sultan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aishaa

main onet

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan RUU Kefarmasian dalam Regulasi Praktik Kefarmasian

24 April 2021   18:58 Diperbarui: 24 April 2021   19:02 1919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang sangat esensial bagi aspek kehidupan. Sebelum membahas lebih dalam apa itu berpikir kritis alangkah lebih baiknya untuk mengetahui definisi dari tiap kata mengenai berpikir dan kritis itu sendiri. Secara etimologi dimana etimologi terdiri dari dua kata yakni etos dan logos yang berarti ilmu yang mempelajari kata, "berpikir" di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu, sedangkan "kritis" yaitu kritikous atau kriteion yang berarti pertimbangan. 

Kemudian definisi secara terminologi dimana termos dan logos yang berarti ilmu yang mempelajari istilah, maka definisi "berpikir" secara terminologi adalah kegiatan yang memahami dari informasi-informasi dan pengetahuan-pengetahuan dengan memanfaatkan ilmu untuk diolah untuk menimbang atau memutuskan sesuatu. Sehingga definisi dari berpikir kritis suatu proses bagaimana setiap individu memanfaatkan pengetahuan, pemahaman, atau keterampilan yang sudah dimiliki dalam memecahkan suatu permasalahan dengan mempertimbangkan menggunakan standar tertentu.

Mengapa kita harus berpikir kritis? Dengan adanya berpikir kritis kita dapat memiliki alternatif jawaban dalam suatu permasalahan. Berpikir kritis dapat melatih seseorang memiliki kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional. Berpikir kritis dapat membuat seseorang memiliki banyak alternatif jawaban serta ide-ide kreatif, yang dimana seseorang tersebut tidak hanya terpaku pada satu jalan keluar atau penyelesaian, tetapi memiliki banyak pilihan terhadap penyelesaian suatu masalah sehingga dapat meminimalisir akibat yang tidak diinginkan. 

Selain itu, berpikir kritis juga membuat seseorang mudah memahami sudut pandang orang lain, maksudnya adalah berpikir kritis membuat pikiran dan otak (daya pikir) seseorang menjadi lebih fleksibel, dengan begitu tidak membuat pendapat dan pikiran menjadi kaku dan hanya terpatok pada pemikiran sendiri saja. Berpikir kritis juga sering menemukan peluang baru dalam menganalisis permasalahan dan juga meminimalkan kesalahan persepsi, dengan berpikir kritis seseorang akan mencari kebenaran akan suatu informasi yang didapatkan sehingga tidak akan menerima begitu saja. Hal ini dapat meminimalkan salah persepsi dimana salah persepsi sering ditimbulkan karena seseorang hanya menerima informasi yang diperoleh saja tanpa mempertanyakan kembali kebenarannya. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa sangat berperan penting dalam menyelesaikan suatu permasalahan dalam kehidupan di indonesia salah satunya permasalahannya adalah terkait rancangan undang-undang kefarmasian.

Pada Hari Kesehatan Nasional, tepatnya pada 12 November 2019, ratusan mahasiswa farmasi yang tergabung dalam Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi (ISMAFARSI) Indonesia dan apoteker yang tergabung dalam Farmasis Indonesia Bersatu, melancarkan aksi di gerbang DPR RI. Aksi tersebut bertujuan untuk menyuarakan aspirasi mengenai desakan agar RUU Kefarmasian segera dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan disahkan menjadi Undang-Undang.

Hari itu mahasiswa berhasil berkomunikasi dengan aparat dan meminta untuk masuk ke dalam dan menemui anggota DPR RI. Para mahasiswa berhasil menemui komisi IX DPR RI dan mendapat kesempatan untuk beraudiensi, menyerahkan tuntutan, dan meminta pawa wakil rakyat tersebut untuk menemui massa aksi dan menyampaikan sikap terhadap desakan RUU Kefarmasian.

Rancangan Undang-Undang Kefarmasian merupakan rancangan regulasi yang diharapkan dapat menjadi payung hukum tenaga kefarmasian dalam hal-hal yang berhubungan dengan kefarmasian yang diajukan dalam Prolegnas.

Selama 2015 hingga 2019, progres RUU Kefarmasian dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI beberapa kali mangkrak atau berhenti di tengah jalan akibat kalah prioritas. Hingga menjelang masa jabatan para wakil rakyat tersebut habis, RUU Kefarmasian masih belum memiliki progres yang berarti.

Berdasarkan daftar Prolegnas DPR RI 2015 -- 2019, pembahasan mengenai RUU Kefarmasian berada di urutan 120. Sedangkan, urgensi dari keberadaan RUU Kefarmasian ini sangat penting, mengingat sebanyak lebih dari 60 ribu tenaga kefarmasian memerlukan perlindungan terhadap profesi kefarmasian.

Selain itu, terdapat juga beberapa alasan lain yang mendasari perlunya disegerakan RUU Kefarmasian ini, antara lain:

1. Dasar hukum yang mengatur praktik kefarmasian saat ini yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian yang mengikut pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Regulasi ini dianggap tidak sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial yang ada dikarenakan UU No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan sudah tidak berlaku dan telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

2. Permasalahan praktik kefarmasian di masyarakat yang belum memiliki ketentuan hukum yang pasti, seperti apoteker yang tidak berada di apotek, penjualan obat keras dan antibiotik secara bebas, serta transaksi obat dan resep palsu.

Beberapa hal yang melatarbelakangi pengajuan RUU Kefarmasian, antara lain:

1. Dalam pelayanan kesehatan dan kefarmasian yang berfokus kepada pasien, apoteker sebagai salah satu tenaga profesi kesehatan memiliki peran yang cukup penting, yaitu menjamin ketersediaan obat bermutu, menjamin efektivitas pengelolaan obat, serta menjamin keamanan dan kemanjuran obat terhadap pasien.

2. Jumlah apoteker dan tenaga kefarmasian di Indonesia per Desember 2019 yang mencapai angka lebih dari 63 ribu dengan tingkat pertumbuhan yang cukup cepat, yaitu sekitar 10% per tahun.

3. Keberadaan dan manfaat profesi apoteker dan tenaga kefarmasian yang belum banyak dirasakan oleh masyarakat, akibat pengetahuan masyarakat mengenai kefarmasian hanya sebatas pengelola dan penyedia obat. Oleh karena itu, praktik kefarmasian di Indonesia belum berjalan dengan optimal.

4. Diperlukannya suatu dasar hukum yang berisi konsep, strategi, dan mekanisme dalam mengatur peran pemerintah, organisasi profesi, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengembangan dan pertumbuhan pendidikan apoteker. Hingga saat ini, kurikulum pendidikan apoteker dan tenaga kefarmasian belum dirumuskan secara jelas dan terstruktur, yang berdampak dalam penyediaan fasilitas praktik kerja profesi apoteker dan tenaga kefarmasian.

5. Tingkat kesadaran apoteker dan tenaga kefarmasian yang masih rendah mengenai peran, tugas, dan wewenangnya yang mengakibatkan kehadiran dan keterlibatan apoteker di apotek masih jarang serta banyaknya pengalihan tugas dan wewenang apoteker kepada tenaga teknis kefarmasian.

6. Tingkat pengakuan peran apoteker dalam sistem kesehatan nasional yang masih rendah sehingga kurangnya keterlibatan apoteker dalam permasalahan dan perkembangan kesehatan secara nasional

Aksi dari mahasiswa tersebut pun membuahkan hasil, pada 28 November 2019, Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) melaksanakan forum diskusi guna membahas RUU Kefarmasian dengan mengundang segenap unsur pemerintah dan organisasi kefarmasian, yaitu Ditjen Farmalkes Kemenkes RI, Deputi I BPOM RI, Komisi Farmasi Nasional (KFN), Kolegium Ilmu Farmasi Indonesia (KIFI), Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI), Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI), Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia (APDFI), Asosiasi Pendidikan Menengah Farmasi Indonesia (APMFI), dan Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Indonesia (ISMAFARSI).

Hasil diskusi tersebut kemudian disampaikan kepada Komisi IX DPR RI dan pada 6 desember 2019, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Kementerian Hukum dan HAM menyatakan terdapat 247 RUU yang dimasukkan ke dalam Prolegnas. Dari 247 RUU tersebut, terdapat sebanyak 50 RUU yang dijadikan prioritas pada tahun 2020, dengan RUU Kefarmasian berada di urutan ke-30.

Harapan dari para mahasiswa farmasi, apoteker, dan tenaga kefarmasian lainnya untuk memiliki Undang-Undang Kefarmasian pun semakin jelas. DPR RI secara resmi menyatakan RUU Kefarmasian dimasukkan dalam 4 kategori RUU Omnibus Law dari 50 Prolegnas Prioritas 2020. 

Omnibus law terdiri dari kata omnibus dan law. Omnibus berasal dari bahasa Latin yang berarti segalanya, sedangkan law sendiri memiliki arti hukum. Dari itu dapat diketahui bahwa omnibus law merupakan hukum yang mencakup segalanya, mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal, serta mencakup berbagai isu dan topik. Omnibus law pertama kali disebutkan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2019.

Namun, beberapa kabar sebelumnya pun berakhir dengan tidak mengenakkan, yaitu penempatan apoteker bersama dengan tenaga laundry dan pemulasaran jenazah sebagai tenaga non media dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020. Sedangkan, profesi apoteker sebagai tenaga kesehatan yang disumpah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 dibandingkan dengan tenaga kesehatan lainnya juga memiliki peran preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatifnya sendiri. Apoteker juga memiliki peran penting dalam upaya kefarmasian dan kesehatan dengan edukasi ke masyarakat. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan juga mencakup apoteker sebagai tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam melakukan praktik kefarmasian.

Setelah itu, kabar buruk selanjutnya pun kembali datang, yaitu dicabutnya RUU Kefarmasian oleh Baleg DPR RI dari Prolegnas Prioritas tahun 2020 bersama dengan 15 RUU lainnya. Namun, berdasarkan pernyataan Emanuel Melkiades selaku anggota DPR RI dengan latar belakang apoteker menyatakan bahwa RUU Kefarmasian dalam Prolegnas prioritas tidak sepenuh nya dibatalkan, melainkan diundur ke tahun 2021. Hal ini dapat menjadi kesempatan untuk mematangkan dan memaksimalkan konsep RUU Kefarmasian dan diperkuat dengan adanya pembahasan terkait unsur pemerintah, seperti sinkronisasi dengan Kementerian Kesehatan dan Badan POM.

Selain itu, dalam RUU Cipta Lapangan Kerja dari omnibus law pemerintah hanya berfokus pada sektor perekonomian saja dan tidak mengindahkan beberapa sektor lain, termasuk sektor kesehatan. Terdapat beberapa pasal mengenai kefarmasian yang dihilangkan, termasuk terkait obat golongan psikotropika, narkotika, pelayanan kefarmasian, industri farmasi, serta Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Apotek.

Padahal jika ditinjau dari perundang-undangan yang ada dan berlaku saat ini, jauh sebelum omnibus law dikeluarkan, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang membahas segala aspek mengenai bahan obat dan obat jadi narkotika, baik itu narkotika dan prekursornya, penggolongan narkotika, produksi, penyimpanan dan pelaporan, peredaran, penyaluran, penyerahan, pengobatan dan rehabilitasi, pembinaan, serta pengawasan. Selain itu, sebelumnya juga terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika yang membahas mengenai penggolongan, produksi, peredaran, pengawasan, serta penggunaan dan rehabilitasi dari bahan obat dan obat jadi golongan psikotropika. Namun, dengan adanya UU No. 35 Tahun 2009, maka UU No. 5 Tahun 1997 sudah tidak berlaku.

Dalam bidang pelayanan kefarmasian, sudah terdapat pula Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Dalam bidang industri farmasi, terdapat Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 16 Tahun 2013 Tentang Industri Farmasi dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional.

Bagai diiris dengan sembilu, lagi-lagi pada 24 November 2011, DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI menyatakan jika terdapat 38 RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, namun tidak termasuk RUU Kefarmasian. Hal tersebut pun menyebabkan ISMAFARSI wilayah Timur mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dalam menyuarakan keresahan regulasi yang tidak menghargai dan tidak mengindahkan profesi kefarmasian.

Profesi kefarmasian, baik apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya, sangat berjasa dalam peningkatan dan pengembagan kesehatan nasional. Sebagian besar aktivitas dan tindakan medis yang dilakukan menggunakan obat dan alat kesehatan yang merupakan produk dari kefarmasian. Apoteker berperan dalam riset, uji klinis, produksi, distribusi, dan pelayanan obat di berbagai fasilitas kesehatan. Dengan surat tersebut diharapkan RUU Kefarmasian dapat segera ditangani agar profesi kefarmasian dengan segera memiliki payung hukum yang jelas.

Hingga saat ini, Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) telah mengajukan draft RUU Praktik Kefarmasian kepada DPR RI menggantikan RUU Kefarmasian. Emanuel Melkiades menyatakan masih terdapat harapan dan kemungkinan jika RUU Praktik Kefarmasian ini dapat masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022. Praktik kefarmasian sendiri memiliki cakupan yang lupa, baik dari praktik mandiri di komunitas, praktik farmasi klinik, praktik farmasi veteriner, serta praktik dan evaluasi alat kesehatan dan perbekalan farmasi. RUU Praktik Kefarmasian ini sangat penting bagi apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya dalam menjelaskan kefarmasian apotek yang baik dan benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun