Sudah satu tahun lebih  Covid-19  melanda Indonesia. Akibatnya segala sendi berbangsa pun terkapar, dari ekonomi, budaya, tata sosial, dan tidak ketinggalan yang ikut merasakan dampaknya adalah ranah pendidikan.Â
Hampir dua semester atau satu tahun dari bulan Maret 2020 hingga Maret 2021 proses pembelajaran tidak bisa dilaksanakan semestinya. Dan jikalau sekolah  yang direncanakan mulai efektif bulan Juli 2021 dan itupun belum bisa masuk secara regular,  maka ada satu tahun Kalender Pendidikan yang hanya sebatas melaksanakan  presensi.
Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh guru, kegiatan mereka hanya melaksanakan seluruh kebijakan yang datangnya dari ketua gugus Covid-19, Doni Monardo. Â Mas Nadiem selaku Menteri Pendidikan pun harus menaati aturan yang diberikan oleh satgas Covid-19.Â
Meskipun jelas harus menutup sekolah dari SD hingga PT karena efek percepatan sebaran virus diyakini sangat besar jika interaksi siswa itu  tidak dikontrol secara ketat.
Terbengkelainya sistem pengajaran yang efektif mau tidak mau  masyarakat harus mau menerimanya. Karena memang demikian kenyataannya karena tidak hanya di Indonesia tetapi juga belahan di dunia lainnya menutup sekolah-sekolahnya. Kecemasan pemerintah, orang tua, bahkan siswa pun tidak kalah khawatirnya jikalau diri mereka akan menjadi orang yang terinveksi virus itu.
Kevakuman interakasi siswa di sekolah berakibat menumpuknya beban tugas siswa. Ambil contoh  kurikulum di Indonesia untuk satu mata pelajaran yang sangat padat sehingga mengakibatkan mau tidak mau siswa yang mengerjakan pembelajaran secara daring lebih banyak.Â
Dan tentunya cost untuk kebutuhan pembelajarannya pun bertambah dari menyediakan HP, Laptop, Wifi, Quota, dan listrik yang juga semakin membengkak. Penyediaan sarana siswa itu tidak lain untuk menyelesaikan beban kurikulum yang padat tersebut.
Keefiktivitasan pembelajaran daring apa pun canggihnya tidak akan pernah bisa menggantikan interaksi antara guru dan murid di sekolah. Karena dari berkumpulny siswa di lingkungan teman dan dalam atmosfir pendidikan yang sangat kompleks sehingga pendewasaan anak pun bisa berjalan dengan normal.Â
Namun pastinya sangat tidak bijaksana manakala pandemi yang belum kunjung hilang ini sekolah dibuka secara reguler. Hanya saja ketika usulan untuk memasukkan siswa untuk bertatap muka selalu mentah oleh kebijakan politik apakah tidak ada cara lain agar pendidikan itu tetap berjalan Â
Di setiap sekolah formal selain tersedia intrakurikuler juga ada ekstrakurikulernya. Pembedaan pun jelas, ekstrakulikuler diadakan hanya untuk mendukung kegiatan intrakulikuler.Â
Meskipun hanya pendukung sebenarnya dari ekstrakulikuler dapat dijadikan tempat untuk ajang siswa yang memang punya minat dan bakat dalam bidang-bidang tertentu yang memang bisa menciptakan siswa yang lebih dewasa. Tetapi sayangnya sejalan dengan kegiatan intrakulikuler yang ditiadakan maka kegiatan ekstrakulikuler pun dengan sendirinya ditiadakan.
Mengadakan Kegiatan Memupuk Semangat Nasionalisme
Kegiatan ekstrakulikuler Pramuka yang selama  ini digaungkan oleh para pendidik adalah sebagai kegiatan di luar sekolah atau ektrakurikuler yang sangat unggul.
Meskipun unggul namun kenyataannya dalam masa pandemi ini juga ikut tertidur tidak lagi banyak aktivitias di luar sekolah yang ekisis. Baik di tingkat  gudep maupun di saka.Â
Padahal kalau berani sedikit membuka keberanian untuk mengadakan kegiatan maka siswa yang selama satu tahun ini selalu berkeluh bosan ada kegiatan di luar jam sekolah yang mendidik.
Metode Learning by doing yang selalu dipakai oleh para Pembina Pramuka untuk menyampaikan keterampilan bisa digunakan oleh  pengelola lembaga pendidikan formal.Â
Artinya kegiatan kepramukaan yang lebih banyak dilakukan di luar sekolah  diadopsi oleh sekolah dan guru untuk melakukan interakasi. Proses pembelajaran yang biasanya dilakukan di dalam kelas pun akan berubah di luar sekolah.Â
Kalau biasanya siswa harus tertutup rapat oleh tembok dan duduk di kursi yang statis dengan model seperti ini siswa bisa merasakan lembutnya rerumputan dan pandangan mata bebas memandang langit biru dan yang pasti leagi lebih menyehatkan.
Kegiatan keagamaan pun bisa dipakai untuk tetap menjaga agar interaksi antara guru dan murid tetap terjalin. Bahkan dengan kegiatan ini akan menebalkan keimanan tidak hanya siswa tetapi guru, karyawan, dan seluruh elemen sekolah. Kesadaran kepada Tuhan sang pencipta adalah langkah yang sangat  tepat untuk menebalkan imun.Â
Penebalan rasa percaya diri sebagai kesadaran manusia yang lemah  membuat suatu kesadaran jika pandemi yang sedang terjadi adalah ajakan yang lembut untuk berbuat lebih arif. Bahkan ekstra lain yang memang bisa meningkatkan imun anak mengapa tidak juga dicoba, misalnya kegiatan olah raga.
Memahami Transendental sebagai dunia  unik harus dibimbing oleh orang yang mempunyai kemampuan religiusitas.  Namun pemahaman keagaman perlu juga diajarkan lebih dini dengan bimbingan bukan dengan pembiaran.Â
Dan setelah satu tahun siswa yang jauh dari lingkup pendidikan kekhawatiran akan pengeroposan kerohanian bukan isapan jempol. Pengontrolan perilaku yang sangat longgar dari orang tua, masyarakat, bahkan guru mengakibatkan  fenomena tidak terkendali dari remaja bahkan anak-anak sering terjadi.
Keberanian dari Pemangku Kebijakan Pendidikan untuk Membuka Keran Interaksi Belajar
Protokol kesehatan adalah hal yang mutlak dilakukan untuk menghindari  terjadinya penyebaran Covid-19 kala interaksi antara guru dan murid terjadi. Tetapi ketika kekhawatiran ketika terjadi pandemi di awal Maret tahun 2020 dunia pendidikan di Indonesia tidak mempunyai formula yang sangat tepat untuk mengantisipasinya selain menutup sekolah dan menggantinya dengan Pembelajaran Jarak jauh.
Membuka keran pembelajaran bukan berarti sekolah kembali seperti ketika belum terjadi pandemi. Kalau membuka sekolah dari SD hingga PT sama saja bunuh diri. Namun seperti yang saya tulis di atas memfungsikan ekstra yang memang diperlukan dengan peserta yang terbatas, bahkan mungkin sangat terbatas. Dengan metode yang tepat semua guru se-Indonesia sebenarnya tahu apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan.
Dan Mungkin Juga Keran pendidikan yang lama bisa-bisa malah mapet tidak bisa lagi buat meneteskan air tidak bisa lagi digunakan meski hanya untuk membasuh tangan.  Demikian juga kalau lama-lama pendidikan diisolasikan dengan tidak ada pola pikir yang progresif bisa-bisa  hilangnya satu tahun anak untuk berpikir yang berarti juga tertundanya  kesempatan berkembangnya masa emas anak.
Â
Masih ada empat bulan lagi untuk menuju tahun ajaran 2021/2022. Waktu yang sangat sedikit ini bisa dimanfaatkan untuk menentukan suatu kebijakan yang tidak lagi menutup  sekolah tetapi membukanya kembali. Hanya saja kalau kekhawatiran sudah di depan mata memang lebih baik seperti ini saja, anak dikontrol oleh gadget. Hehehehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H