Kadang-kadang alur nasib tidak disangka akan terjadi pada suatu waktu tanpa adanya rencana. Bisa karena kebetulan, bisa karena adanya perhubungan cerita yang selalu diimpikan.Â
Namun semuanya akan bertemu pada satu simpul kalau kita pernah berurusan dengan tempat, waktu, atau orang yang sama sekali belum dikenal, kemudian kita berkenalan dengannya.
Suatu waktu ketika masih kuliah pernah terujar dalam suatu percakapan, saya sangat tidak suka dengan olahraga permainan tenis lapangan. Maklumlah anak teater mana ada yang suka dengan olahraga di lapangan.Â
Apalagi dirasa permainan itu sangat feodal, olahraga diperuntukkan orang kaya saja. Dan sebagi anak teater tentunya olahraga yang disukai adalah olah rasa.
Kebetulan di antara kawan-kawan itu ada yang suka bermain tenis. Mungkin ingin manas-manasi anak teater atau bagaimana yang jelas setelah latihan tenis, si anak pemain tenis -kalau teman-teman teater memanggilnya- menggantungkan raketnya di dinding sanggar teater. Dan betapa bisa dibayangkan anak-anak yang tidak suka tenis malah harus melihat benda itu.
Karena memang anak teater, setiap habis meletakkan raket di dinding pasti akan disembunyikan di belakang lemari, atau di tumpukan kostum, atau di sela-sela alat musik pokoknya akan dibuat emosi dahulu kala akan bermain tenis.
Namun tetap saja si anak pemain tenis seolah memang ingin dikerjai atau memang ingin agar teman-teman yang lain menyukai olahraga ini, saya tidak tahu yang pasti hingga kini anak ini telah menjadi kepala sekolah dan tetap bermain tenis.
Sementara saya saat itu juga termasuk mahasiswa yang sangat tidak suka dengan permainan tenis, tapi pada kurun waktu yang terus berjalan entah darimana musababnya tetiba saya jadi sangat menyukai permainan ini.Â
Meskipun saya bukan orang feodal ataupun orang kaya, bahkan di usia yang sudah menginjak separuh abad seolah tidak kendor untuk mengejar si bola yang sebesar genggaman tangan itu di lapangan.
Menyukai dan Membenci Sesuatu Sewajarnya Saja
Memang benar kata simbah saya jika orang yang gething bakalan nyanding, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia secara bebas adalah ketika suatu saat orang yang membenci akan tiba waktunya untuk mencintai.
Selain olahraga permaian tenis yang dulunya sangat saya benci itu dan sekarang menjadi olahraga yang paling saya sukai.
Ada juga kisah nyata lainnya tentang yang termasuk dalam kategori dalam istilah sweet karma itu. Mungkin juga kebetulan dua-duanya si cewek dan si cowok adalah teman dalam satu teater.
Sangat wajar kalau dalam pertemanan ada rasa ingin pdkt, kalau istilah sekarang ingin menembak. Tetapi kalau dahulu itu meskipun sudah mahasiswa yang namanya ada perhatian pada lawan jenis masih sedikit-sedikit malu.Â
Dan pada suatu hari teman saya tadi bercerita kalau habis mengutarakan perasaannya, dan ingin sekali menjadi pacarnya. Namun katanya lagi, dengan nada cengengesan dirinya ditolak mentah-mentah.
Untuk meyakinkan keputusannya itu setelah tamat dari Universitas di Solo, dirinya -si cewek- langsung pergi ke Sumatra, tepatnya di Lampung Metro. Tentu saja si cowok berduka, siapa orangnya yang tidak merasakan kesedihan mendalam ketika orang yang didamba untuk dijadikan pendamping hidup tetiba jauh untuk dijangkau.Â
Ada niatan sebenarnya si cowok untuk menyusul ke Lampung namun karena dorongan teman-teman mungkin juga nasihat dari keluarga kalau jodoh tak lari ke mana.
Dan betul saja, entah dari mana sebab cerita teman saya yang cewek itu tiba-tiba luluh hatinya dan rela untuk menjadi teman hidup si cowok yang sekarang tinggal di Sragen. Seperti cerita dalam drama cinta hidupnya.Â
Ada satu kejadian kalau diingat saya ingin tertawa sendiri, ketika sudah larut malam si cowok ingin mengantar pulang ke kos-kosan sudah susah-susah ingin mengantar pulang dengan meminjam sepeda motor eee... malah dengan enaknya bilang sudah ada yang ngantar katanya.
Dan masih banyak kejadian-kejadian nyata lainnya di depan mata. Sehingga bolehlah saya menyimpulkan kalau pengalaman yang ada itu adalah suatu alur yang saling berhubungan.Â
Meskipun garis singgungnya pada awalnya bukan sesuatu yang disukai. Malahan bisa saja yang awalnya sangat disukai namun pada akhirnya harus menerima kenyataan bukan terbaik untuk dirinya mungkin saja akan menyebabkan dirinya menderita.
Menimbang Kata Sebelum Diucapkan
Sangat sulit untuk menempatkan pikiran di depan lidah sebelum berbicara. Namun yang paling mudah adalah mengucapkan segala yang dirasakan kepada kawan bicara.Â
Dengan meletakkan akal setelah berbicara akibatnya tidak hanya orang lain yang harus mencerna kata-kata yang sudah diucapkan, kadangkala orang yang berucap pun harus menelaah kata-kata yang diucapkan karena jika ternyata ada orang yang merasa tersinggung. Â
Kadangkala kata yang sudah kita pikir hingga perasaan juga sudah dilibatkan pun masih ada ganjalan jikalau ternyata tidak membuat orang yang kita ajak berbicara betul-betul memahami yang menjadi maksud pembicaraan.Â
Misalkan saja kata yang keluar, "Sudahlah aku tidak mau biara dengan kamu lagi!" jikalau kalimat yang diucapkan akan dilaksanakan betul maka sudah ada satu mahluk Tuhan yang sudah dianggap tidak ada.
Jikalau saja masalah kata tidak ingin bicara itu dapat diselesaikan di dunia maka pertemanan itu akan terjalin. Namun saja jika kata-kata yang pernah diucapkan dan tidak sempat diperbaiki di dunia dan selanjutnya terbawa sampai akhirat tentunya jika yang percaya adanya hari akhir pasti akan menyesalinya. Karena siapa tahu kita nanti dikumpulkan sama-sama orang yang tidak disukai, tentunya juga di kumpulkan sama-sama orang yang disukai Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H