Sehari yang lalu saya beropini di Kompasiana dengan judul Habieb Rizieq Show of Force atau Hanya bermain Peran. Terimakasih kepada viewer dan voter yang telah memberikan semangat untuk selalu menulis meskipun tiada seberapa pentingnya. paling tidak ada ganjalan yang ada di hati sudah tersalurkan.Â
Kali ini saya masih beropini berkaitan dengan MR, apa benar yang  kelihatan di mata publik jika Jokowi diam dan membiarkan sepekan hiruk pikuk yang terjadi di petamburan Jakarta.Â
Namun diam bukan berarti tidak melakukan apa-apa. Kemudian pada opini saya kali ini akan  mencoba menarik benang merahnya, yaitu Jokowi mempunyai cara sendiri untuk membungkam lawan politiknya.Â
Jikalau dengan cara simbolis saja sudah tidak mempan maka cara lain yang lebih jelas dan verbal pasti akan dilakukan.
Bukan langsung menangkap pelaku yang dianggap membuat keresahan, karena hal itu akan membuat orang yang menjadi pesakitan akan banyak mendapat simpati.Â
Ujung-ujungnya akan menjadi pahlawan. Bahkan bisa saja terjadi dukungan akan mengalir. Jikalau hanya mendatangkan Muhammad Rizieq Bin Hussein Shihab (MR) dari umroh yang lama saja bisa, kemudian mengerahkan masa yang banyak buntuk menyambutnya bukan hal yang sulit.Â
Apalagi kalau MR ditangkap  Tentunya gelombang perlawanan akan semakin masif dengan dukungan dana dari mr.x yang luar biasa.
Tentunya bukan suatu pilihan jika negara harus selalu dalam keadaan terganggu. Apalagi dalam keadaan pandemik yang membuat negara seolah-olah sempoyongan harus melawan berbagai terjangan.Â
Tidak hanya virusnya tetapi yang lebih menyakitkan adalah oknum-oknum yang dengan culas menggunakan kesempitan untuk merongrong nergara demi kepentingan tersembunyi.
Pilihan yang paling sederhana adalah memberikan sedikit pressure kepada kelompok yang mencoba jumawa dengan show of force di tengah pandemi. Bagaimana pun juga Negara harus berada pada posisi menjaga keselamatan rakyat yang lebih banyak. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hokum yang paling tinggi.
Apakah kelompok dari MR bukan rakyat? Semuanya adalah rakyat Indonesia. Namun manakala kelompok yang mengaku rakyat Indonesia melakukan aktivitas yang jelas melanggar peraturan yang dibuat (Prokes) dan menyakiti hati orang lain tentunya bukan tindakan yang sangat bijak jika dibiarkan bahkan mendapat dukungan.
Pencopotan Kapolda Metro Jaya Irjend Nana Sudjana,  Kapolda Jawa Barat Irjend Rudi Sufahriadi, Kapolre Jakpus, dan Kapolres Bogor  oleh Kapolri karena dianggap tidak melaksankan tugas dengan baik untuk menjaga protokol kesehatan.Â
Pencopotan itu hal paling realistis dilakukan karena para pejabat itu masuk dalam hierarki yang memang memungkinkan untuk dilakukan manakala ada kesalahan.
Lain halnya ketika harus mencopot gubernur DKI yang melakukan kesalahan. Karena implikasi yang ditimbulkan pun akan lebih rumit. Baik secara politik maupun harga materi akan lebih mahal.Â
Paling banter hanya pemanggilan dan peringatan. Meskipun kalau dipaksa pun sebenarnya memungkinkan. Dan gubernur DKI tahu  hal ini, maka ketika ada celah yang bisa dimasukki untuk mambuat goyangan pasti dilakukan. Demikian seterusnya, tinggal siapa yang  paling cerdik akan tampil sebagai pemenang
Kekuasaan sebagai panglima tertinggi TNI sangat sedikit dipakai oleh Jokowi untuk menekan secara langsung atau menangka MR. Dan rupanya statmen dari Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto sudah mewakili Jokowi. Ketegasan dari Pangllima TNI ini rupanya ssudah cukup untuk menghentikan semantara keraguan rakyat Indonesia jikalau pemerintah tidak serius di dalam menjaga marwah bangsanya.
Langkah-langkah tegas juga harus dilakukan oleh Kapolda  Metro Jaya yang baru , Irjen Pol Fadil imron. Seharusnya beliau bisa tegas, sebagaimana pada masa sebelumnya Irjen pol Fadil Imron berhasil mengungkap chat Mr dengan seorang Wanita FH.Â
Kemudian tegas juga untuk menjaga protokol kesehatan berjalan sesuai koridor, dan tentunya  Salus populi suprema lex esto bisa selalu dijunjung dengan meniadakan perbedaan perlakuan hukum yang sempat terjadi.
Tantangan yang pertama tentunya tidak hanya berhenti pada suatu statemen, tetapi lebih pada realita jika penegakan hukum tidak pernah tebang pilih. Misalnya saja pemanggilan gubernur Jakarta yang telah dilayangkan, kemudian akan diperiksa pada tanggal 17 Nopember 2020 hari ini.Â
Karena sebagian publik yang pendapatnya dapat dilihat di jagat media sosial tidak yakin jika jika Gubernur DKI yang ini akan mendapat teguran keras. Berupa surat peringatan hingga dimasukkan ke penjara selama satu tahun sesuai dengan undang-undang.
Pemanggilan pejabat pemerintahan oleh Kepolisian dari tingkat r.t. hingga Camat di wilayah petamburan yang sedang dalam proses sangat wajar, jika dilakukan.Â
Bahkan yang memantik pertanyaan besar adalah begitu mudahnya fasilitas yang diberikan oleh pejabat penaggulangan covid 19 sekaligus kepala BNPB Letjend Doni Munardo.
Meskipun hanya masker, face shield, dan hand sanitizer yang diberikan kepada MR, tidak urung pemberian itu bisa diartikan sebagai pembentangan karpet merah untuk melegalkan kegiatan pernikahan dengan mengundang ribuan orang.Â
Sebagai ksatria Letjend Doni Munardo seyogyanya tidak hanya meminta maaf atas kesilapan yang telah dilakukan namun juga diikuti dengan pengunduran diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H