Sandya Kala di Parang Garuda
X
Sinar mata seseorang akan selalu menyiratkan gejolak perasaan dari  sanubari  terdalam. Hanya sedikit dari mereka  yang dapat mengendalikan kesedihan dan kegembiraan yang sedang dirasakan.  Gurat kekecewaan tergambar jelas di mata  ibunda Rayung Wulan.Â
Kemudian dari mata yang penuh kecewa itu membuat  wajahnya yang sudah tergurat sedikit keriput kini dikerutkan sehingga sangat jelas lekuk keriput di keningnya dan di kedua sudut matanya.Â
Ternyata selama ini putrinya sangat pandai menyimpan perasaannya. Putrinya  yang selalu ceria dan berterus terang kepadanya dalam segala hal mampu menyembunyikan kekasih hatinya dalam sudut yang paling sepi. Hingga dirinya sebagai ibunya mengira Rayung Wulan  tidak menyimpan apa pun dari dirinya. Â
Betapa dirinya sangat masygul dengan dirinya, ia merasa tidak mampu menjaga hati putrinya agar menjadi  perempuan utama yang  kelak akan menjadi penguasa menggantikan  ayahnya meskipun seorang perempuan.Â
Dan lebih jauh lagi dirinya diharapkan menjadi Putri Simha yang pernah menjadi ratu di kalingga. Kalaupun tidak menjadi seorang penguasa jadilah seorang permaisuri yang kelak akan menurunkan raja-raja besar.
Karena tidak mampu menahan beban duka di hati dan ingin menyembunyikan  dari putrinya, dirinya setengah berlari keluar dari kaputren. Membiarkan para perias menyelesaikan tugas tanpa arahannya. Â
***
Para perias hampir menyelesaikan tugasnya ketika ibdunda Rayung Wulan keluar. Tidak banyak yang harus dilakukan oleh para perias karena kulit Rayung Wulan sangat sempurna. Apalagi sebelum hari temu yang akan dilaksanakan setelah bulan purnama penuh menjemput bumi, satu pekan sebelumnya segala ramuan dari ibunda dipakai untuk menambah kecantikannya.Â
Dan sekarang pada hari ketika Rayung Wulan akan dipertemukan dengan  mempelai pria kulitnya sangat sempurna. Seperti bulan  yang terang benderang pada  puncaknya ketika purnama. Riasan bedak di wajah dan olesan jampi kulit tidak banyak manfaatnya.  Para perias tahu itu maka perias hanya mengusap dengan kain sutera agar jampi kulit yang sudah meresap itu tidak hilang.
Harum  bebungaan sangat kuat untuk mengganti bau apa pun yang ada dirang kaputren tempat Rayung Wulan dipersiapkan untuk menjadi calon permaisuri dari Pangeran Jasari. Dan di antara  harum bebungaan itu ada juga  harum dupa.Â
Dupa yang harum seperti ini hanya  berasal dari kerajaan Sriwijaya. Sebagai kadipaten di Jawadipa yang dekat dengan pelabuhan Juana maka segala barang mudah didapat. Tidak terkecuali dupa yang harum. Bahkan kain sutera dari Cina pun sering dipakai adipati dan permaisuri, mudah didapat karena hubungan dagang.
Dupa yang wangi itu segera menyadarkan Rayung Wulan jika harum  itu pernah sekali ditemui  ada yang aneh pada perasaannya. Segera ia  tengokkan kepala, terlihat  di ujung ruang  seorang  perempuan yang sedang duduk bersimpuh seolah memanjatkan puja-puja pada Sang Pencipta.Â
Sangat hening seolah dirinya sudah menyatu dengan-Nya. Namun meskipun orang itu memakai pakaian perempuan Rayung Wulan tidak akan pernah lupa dengan bentuk tubuh, rambut, terutama tatapan matanya yang teduh.
Melihat ada orang yang sangat diimpikannya itu, segera ia menyuruh para perias untuk keluar dari ruangan, karena dirinya sangat gugup ingin menenangkan batin. Dan hanya dayang yang sedang bedoa yang diizinkan untuk tetap menemaninya. Seluruh perias hanya mengangguk dan tidak ada yang berani  bertanya apalagi menyanggah.
"Kakang Soponyono."
Orang yang memakai pakaian serupa perempuan itu menoleh dan memberikan senyum yang sangat dikenali oleh Rayung Wulan. Â Seperti anak kelinci yang lama salah jalan di tengah hutan hingga tiba-tiba ada induknya datang menghampiri.
Segera ia menjatuhkan dirinya ke pelukan Soponyono. Segala isak tidak tertahankan lagi. Soponyono sangat tahu perasaan yang sedang bergayut di hati Rayung Wulan. Soponyono membelai  rambutnya yang panjang dan berombak harum pun mengusik cintanya yang semerbak seharum dupa.
"Saya tahu Nimas, untuk saat ini tidak ada waktu yang aku miliki."
"Kakang... jangan berkata begitu, saya ingin lebih lama bersamamu"
"Nimas, Rayung Wulan  bersikaplah yang wajar. Jikalau para prajurit tahu maka segalanya akan runyam." Â
"Kakang Soponyono, saya dengar Kakang telah ditangkap orang-orang Parang Garuda. Menjadikan diriku ingin mengakhiri hidup. Terlebih ayahanda telah sepakat menyandingkan dengan Pangeran Jasari, dan sekarang aku bisa bertemu degan dirimu seperti mimpi. Dan bagaimana kakang bisa datang ke sini?"
Kata-kata Rayung Wulan  seperti kelelawar yang keluar dari goa ketika senja hari, ramai tidak terkendali. Hingga dengan terpaksa harus menutup mulutnya dengan tangannya agar tidak banyak keluar kata-kata yang tidak berguna. Â
"Dengarkan aku Nimas, waktuku sangat sedikit. Karena,  jika prajurit penjaga Parang Garuda tahu jika aku tidak ada dalam ruangan tempat aku ditahan maka sangat beresiko adik-adikku yang  sekarang pun sebagai sandera agar aku mau menuruti kemauan mereka."
"Sangat licik mereka itu."
"Nimas dengarkan rencanaku, saya akan membisikkannya  padamu."
Rayung Wulan yang sudah demikian dekat  tidak menyangka jika dirinya diraih kemudian didekatkan dirinya pada bibirnya. Desiran halus dihatinya dan degup jantungnya tidak terbendung lagi.Â
Ingin segera ia lampiaskan seluruh hasratnya, namun dalam kesadaran dirinya harus bisa menjaga kehormatannya. Terlebih dia adalah putri seorang Adipati.
Setelah Soponyono  membisikkan rencana-rencananya, sebersit kegembiraan terpancar di wajah Rayung Wulan. Karena ia percaya dengan kemampuan Soponyono. Ya, ia sangat yakin seyakin fajar akan tiba  esok hari.
(Pati, 20 Oktober 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H