Pada umumnya pilihan petinggi, tentu sang calon akan sungkan ketika  mencalonkan  tidak memberi kenangan dalam bentuk tali kasih. Kalau cerita ibu saya saat pilihan lurah tahun 1970-an si calon lewat "sabet" akan memberikan "tukon" dalam bentuk beras dan bumbu dapur. Â
Jumlahnya pun akan bervariasi sesuai dengan kekuatan yang dimiliki. Jika sekarang tentunya akan lebih mudah jika diujudkan dalam bentuk uang. Â Nominalnya bisa saya sebutkan dimulai dari Rp100.000, hingga Rp500.000. Â Tinggal menghitung saja jika penduduk yang punya hak pilih 5000 orang.
Sabet adalah kepanjangan tugas dari si calon untuk menyampaikan seluruh visi dan misinya. Bahkan bisa dibilang sabet adalah tangan kanan si jago. Â Kepandaian memilih tangan kanan akan menentukan terpilih atau tidaknya diri si calon menjadi petinggi.Â
Tentunya jauh hari sudah dipikirkan siapa saja yang akan menjadi  sabetnya, karena tidak hanya satu  bisa saja mencapai 100 orang tergantung besarnya jumlah penduduk di desa itu.  Tentunya biaya untuk sabet itu lebih dari kebanyakan. Karena harus memperhatikan kesejahteraan mereka jauh-jauh hari.
Kehadiran sabet juga bisa menjembatani hubungan antara si calon dan masyarakat secara langsung. Sebagai contoh  terpilihnya Bpk Suyadi dengan suara 1728, mengalahkan petahana Bpk Kasman dengan suara di urutan ketiga dengan perolehan suara 753. Mestinya sebagai petahana akan mudah mengalahkan rivalnya karena kedekatan dirinya dengan masyarakat hamper terjadi setiap hari.
Perlakuan hormat belum tentu setuju dengan seluruh perintah  yang diberikan. Hal seperti inilah kadang-kadang oleh "sabet" secara jeli bisa dimanfaatkan untuk menarik simpati warga yang dahulu menjadi lumbung suaranya.
Tentu saja para politikus yang besar dari akar rumput sudah paham akan hal ini. Bahkan hanya dengan sedikit polesan  maka biasanya suaranya akan mengalir deras ke arahnya.Â
Dengan syarat tidak ada cacat moral pada calon. Kalau sudah ada cacat moral dalam bentuk apa pun masyarakat desa sangat sensitive untuk urusan moralitas. Jadi, jangan coba-coba kalau cacat moral mencalonkan diri menjadi petinggi atau kepdes pasti tersingkir. Kalau nekat cost yang dipertaruhkan terlalu mahal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H