.
Pada hari ini, 21 Desember 2019 di beberapa kecamatan Kabupaten Pati di adakan Pilihan petinggi (begitu sebutan warga untuk lurah atau kepala desa) secara serentak. Pemilihan itu sendiri adalah bentuk  kehidupan demokrasi di desa.Â
Masyarakat desa menganggap pemilihan itu adalah bentuk mendapatkan pemimpin sesuai pilihan mereka secara berkala, selama lima tahunan secara fair.Â
Dan bisa di bilang pemilihan petinggi atau kepala desa kali ini sangat tinggi. Baik di desa Gabus, kecamatan Gabus. Kecamatan Tambakromo, Winong dan bebarapa kecamatan di kabupaten Pati rerata yang datang lebih dari 80%.
Sebagi contoh di desa Gabus, Kecamatan Gabus,  Kab. Pati jumlah suara sah 4215, dengan suara tidak sah hanya 41. Menandakan kesadaran untuk  memilih sudah baik. Tingkat kesertaan bisa dijadikan sebagai barometer bahwa kehidupan di akar rumput, yaitu di desa-desa sudah berjalan dengan normal meskipun harus diakui ada gesekan karena kedekatan emosi.
Kedekatan emosi sebagai warga desa tampak menonjol, terlebih jika yang jadi calon itu adalah masih kerabat, tetangga, teman sepermainan waktu masih kecil mereka akan datang, meski mereka dalam poisi merantau. Sehingga kedekatan emosi yang ada itu bisa menimbulkan gesekan-gesekan atau resistensi yang tidak akan habis manakala jagonya kalah.
Berbeda dengan pilihan presiden atau pilihan gubernur kaitan emosi pada tiap calon tidak sekuat pilihan lurah. Dalam pilkada ketegangan akibat gesekan pilihan yang berbeda hanya akan berlangsung dalam hitungan hari. Namun, berbeda dengan pilihan lurah maka gesekan itu akan berlangsung berlaku hingga turun temurun. Begitu jika pilihan lurah harus dilaksankan dengan cara pilihan langsung.
Gesekan itu bisa berupa tidak akan mengundang ataupun tidak akan datang  jika punya hajatan, menutup seluruh komunikasi, bahkan terputusnya persaudaraan karena beda pilihan.Â
Demikian tinggi efek keburukan pilihan kepala desa atau petinggi yang diadakan. Sehingga langkah-langkah untuk mendewasakan warga memang mutlak diperlukan. Jangan sampai pilkades yang diadakan secara serempak dengan maksud mengurangi biaya demokrasi dan menghilangkan praktek pengerahan masa harus menjadi boomerang di suatu saat.
Kalau Saya menghitung di luar nalar jika waktu menjabat selama 5 tahun akan kembali seluruh modal yang sudah dikeluarkan. Sehingga tidak jarang seorang yang tidak tulus menjalankan amanahnya, tidak kuat menerima pendapatan dari pengelolaan kas bengkok yang dialokasikan sebagai gaji petinggi, Â baru menjalankan jabatannya 1 tahun sudah harus mencicipi hotel prodeo. Atau harus menjadi buron karena ketahuan menilap uang Bandes yang dipatok minimal sekarang ini Rp800.000.000. Â bahkan di desa Gabus sudah lebih dari satu milyar pertahunnya di samping PAD desa. Jadi sebenarnya cukup sexy pengelolaan dana desa itu.
Setiap calon pasti sudah mempertimbangkan semua keuntungan dan kerugian ketika hendak maju mencalonkan diri menjadi  kepala desa. Di samping harus memiliki dana yang cukup memadai untuk bertarung juga harus memiliki tim yang kuat. Orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di desa atau sekadar di lingkungannya.