Mohon tunggu...
dodo si pahing
dodo si pahing Mohon Tunggu... Buruh - semoga rindumu masih untukku.

Keinginan manusia pasti tidak terbatas, hanya diri sendiri yang bisa mengatur bukan membatasi.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkades Antara Resistensi dan Pendewasaan Berpolitik Masyarakat Desa

21 Desember 2019   22:06 Diperbarui: 21 Desember 2019   23:09 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada umumnya pilihan petinggi, tentu sang calon akan sungkan ketika  mencalonkan  tidak memberi kenangan dalam bentuk tali kasih. Kalau cerita ibu saya saat pilihan lurah tahun 1970-an si calon lewat "sabet" akan memberikan "tukon" dalam bentuk beras dan bumbu dapur.  

Jumlahnya pun akan bervariasi sesuai dengan kekuatan yang dimiliki. Jika sekarang tentunya akan lebih mudah jika diujudkan dalam bentuk uang.  Nominalnya bisa saya sebutkan dimulai dari Rp100.000, hingga Rp500.000.  Tinggal menghitung saja jika penduduk yang punya hak pilih 5000 orang.

Sabet adalah kepanjangan tugas dari si calon untuk menyampaikan seluruh visi dan misinya. Bahkan bisa dibilang sabet adalah tangan kanan si jago.  Kepandaian memilih tangan kanan akan menentukan terpilih atau tidaknya diri si calon menjadi petinggi. 

Tentunya jauh hari sudah dipikirkan siapa saja yang akan menjadi  sabetnya, karena tidak hanya satu  bisa saja mencapai 100 orang tergantung besarnya jumlah penduduk di desa itu.  Tentunya biaya untuk sabet itu lebih dari kebanyakan. Karena harus memperhatikan kesejahteraan mereka jauh-jauh hari.

Kehadiran sabet juga bisa menjembatani hubungan antara si calon dan masyarakat secara langsung. Sebagai contoh  terpilihnya Bpk Suyadi dengan suara 1728, mengalahkan petahana Bpk Kasman dengan suara di urutan ketiga dengan perolehan suara 753. Mestinya sebagai petahana akan mudah mengalahkan rivalnya karena kedekatan dirinya dengan masyarakat hamper terjadi setiap hari.

Dokpri
Dokpri
Hanya saja selalu tidak menjamin kehidupan berpolitik di desa akan selalu sama, kelihatannya baik di depan belum tentu baik di belakang. Karena di desa menjaga perasaan orang lain terlebih kepada pemimpinnya sangat kental. 

Perlakuan hormat belum tentu setuju dengan seluruh perintah  yang diberikan. Hal seperti inilah kadang-kadang oleh "sabet" secara jeli bisa dimanfaatkan untuk menarik simpati warga yang dahulu menjadi lumbung suaranya.

Tentu saja para politikus yang besar dari akar rumput sudah paham akan hal ini. Bahkan hanya dengan sedikit polesan  maka biasanya suaranya akan mengalir deras ke arahnya. 

Dengan syarat tidak ada cacat moral pada calon. Kalau sudah ada cacat moral dalam bentuk apa pun masyarakat desa sangat sensitive untuk urusan moralitas. Jadi, jangan coba-coba kalau cacat moral mencalonkan diri menjadi petinggi atau kepdes pasti tersingkir. Kalau nekat cost yang dipertaruhkan terlalu mahal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun