(7) penyediaan sarana pemulihan berdasarkan hukum, danÂ
(8) pendampingan atau bantuan hukum bagi mereka yang akan menuntut ganti rugi melalui kembaga peradilan.[2]
Masyarakat kampung pulo sendiri sejatinya tidak menolak pembangunan kearah yang lebih positif, hanya masyarakat menuntut pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar setiap masyarakat yang terdampak pada penggusuran.Â
Dari beberapa jumal yang dapat dijadikan rujukan menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian tidak menemukan adanya pemenuhan hak dari masyarakat yang terdampak penggusuran. Hal inilah yang membuat masyarakat seringkali menolak penggusuran tersebut. Berbagai masalah sering terjadi dikala penggusuran dan harus diselesaikan oleh pemerintah diantaranya: 1) penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam menghadapi warga, 2) kegagalan musyawarah, 3) kurangnya sosialisasi dan pembritahuan, 4) kompensasi yang kurang memadai, 5) paksaan dalam kompensasi, 6) korupsi dalam masalah kompensasi.[3]
 Saat proses relokasi yaitu tanggal 20 Agustus 2015 dilakukan, terjadi permasalahan yaitu bentrokan fisik warga Kampung Pulo dan Satpol PP yang saat itu akan melakukan pembongkaran bangunan tempat tinggal masyarakat di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Bentrokan fisik yang terjadi menyebabkan hambatan saat relokasi, pembakaran pada alat-alat berat milik Pemerintah. Setelah Kampung Pulo akan dilakukan penataan dan relokasi pada bantaran Sungai Ciliwung lainnya. Proses relokasi Kampung Pulo dilakukan pada sebanyak 518 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal tepat di bantaran Sungai Ciliwung, yang terkena trase perencanaan penataan ke Rusunawa Jatinegara Barat, tetap dilakukan secara bertahap selama satu minggu. Masyarakat yang direlokasi dari Kampung Pulo tersebut dipindahkan ke Rusunawa Jatinegara Barat yang memiliki 2 tower dengan masing-masing tower memiliki 16 lantai. Menara 1 sebanyak 280 unit dan menara 2 sebanyak 266 unit sarusun.[4]
 Ini merupakan akar dari permasalahan ini adalah tidak koperatifnya pemprov DKI Jakarta dalam mensosialisasikan tentang negosiasi ganti rugi (konvensasi) yang tidak adil serta tidak terlalu memikirkan bagaimana nasib korban terdampak nantinya, salain itu, sikap refresif yang dilakukan oleh pemprov DKI Jakarta dengan melibatkan aparat polri dan TNI turut serta dalam menambah keruh suasana yang terjadi dalam dinamika kasus penggusuran yang terjadi di pemukiman kampung pulo.
 Atas dasar uraian dari fakta-fakta di atas penyusun tertarik membahas analisis pemetaan konflik dari konflik penggusuran permukiman Kampung Pulo. Dari sinilah penulis tertarik untuk melihat bagaimana kasus ini jika dianalisis menggunakan alat analisis pemetaan konflik Simon Fisher.
 Landasan Teori
 Alat atau teknik untuk membantu dalam mengidentifikasi, akar permasalahan, menganalisa, dan memecahkan konflik adalah dengan menggunakan pemetaan konflik. Mengapa pemetaan konflik dianggap penting? Karena konflik tidak muncul tiba-tiba tanpa sebab, dan banyak faktor yang mempengaruhinya seperti misalnya hubungan, nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat, kelembagaan, kebutuhan individu/kelompok, perkembangan sebuah komunitas, sumber daya, kebijakan dan kepentingan politik tertentu. Dengan melalui pemetaan konflik, maka dapat merepresentasikan konflik dalam bentuk visualisasi baik berupa gambar dalam bentuk bagan, diagram, grafis, dan lain-lain, dengan menempatkan para pihak yang terlibat dalam konflik baik yang berhubungan dengan masalah maupun antar para pihak sendiri.[5]
 Melalui metode pemetaan, dapat memberikan sebuah sistem yang menggambarkan scope dari suatu konflik dengan tujuan dari pihak yang terlibat di dalamnya, tipe hubungannya, dan juga isi dari isunya. Mengidentifikasi pihak yang terlibat konflik merupakan tahap yang pertama kali dilakukan untuk mengetahui posisi mereka, kepentingan, dan tingkat kapasitas dari dukungan dari luar. Oleh karena itu, kerangka kerja dari analisis konflik harus bersifat komprehensif, yaitu dengan memperhatikan berbagai aspek yang melingkupinyanya, seperti apa yang diungkapkan oleh Bartos and Wehr (2002).[6]
 "The analysis of linkages between microlevel activities and macro-level forces covers the main obstacles working against a peaceful solution and the internal and external factors behind prolonging the conflict. Overall, mapping entails essential information that is fundamental in planning a constructive response, including the control of violence."Â