Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yuk, Berdamai dengan Remaja

21 Juli 2016   16:35 Diperbarui: 22 Juli 2016   08:10 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesi pembekalan psikologi kepribadian GenRe (sumber: https://www.instagram.com/genre_gresik/)

Kita semua menginginkan masa remaja berhasil dilalui dengan positif, namun data-data statistik mengenai berbagai problematika para adik-adik dan anak-anak remaja kita memang luar biasa mencengangkan. Mari kita simak bersama sebagian dari data tersebut:

Data Permasalahan Remaja Negeri Kita

Data WHO yang dikutip majalah gatra tahun 2006 menyatakan tingkat kasus aborsi di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara yakni mencapai 2 juta kasus per tahun. Total kasus di negara-negara Asean yakni 4,2 juta kasus per tahun

Sebagian besar penyakit kelamin berbahaya telah melanda remaja usia 16 – 25 tahun di kota maupun pedesaan di Indonesia

Saat ini di Indonesia terjadi fenomena berbagai kenakalan dan kejahatan remaja, pelacuran anak, perkosaan, seks suka sama suka, kejahatan seksual di lingkungan sekolah, incest, seks dengan binatang (Yayasan kita dan buah hati, 2014)

Data KPAI Oktober 2013, Kemenkes Oktober 2013: Remaja Indonesia 62, 7 % melakukan seks di luar nikah, 93 % pernah ciuman bibir, 97 % telah mengakses pornografi

Potret Remaja Indonesia: 20 % dari 94.270 kasus hamil di luar nikah berusia remaja, 21 % pernah aborsi, 1.983 kasus ODHA (pengidap AIDS) dalam rentang 3 bulan 42,3 % berusia 20-29 tahun, 10.203 kasus terinveksi HIV dalam rentang 3 bulan, 30 % adalah remaja

(Data KPAI Okt 2013, Kemenkes Okt 2013)

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai bebasnya peredaran video mesum dan gambar porno sangat berpengaruh pada moral anak dan remaja terutama perempuan. “Kita punya data 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak tidak perawan lagi,” kata Ketua Komnas PA Seto Mulyadi kepada Pos Kota, Minggu petang (13/6).

Semakin banyaknya anak-anak yang terkena candu pada perangkat digital. Anak-anak menjadi lebih cepat tumbuh “dewasa” dibandingkan anak-anak zaman dulu, namun jiwa mereka lambat berkembang. Perangkat digital telah menstimulasi kematangan semu (Yee-Jin Shin, 2014).

Fenomena Gunung Es

Ffuhh… sebagai seorang ibu dan juga seorang pendidik, sesak rasanya dada saya ketika menyimak data-data semacam itu. Padahal permasalahan sosial seringkali merupakan fenomena “gunung es”…ya, ujung gunung es yang terlihat secuil…lebih kecil dari aslinya… sepucuk gunung es itulah yang membuat kapal Titanic karam…karena sesungguhnya bahayanya jauuh lebih besar dari yang sekilas tertangkap oleh indera kita.

Ketika Kasus Yy, anak remaja kita yang menjadi korban kekerasan seksual yang berujung pada meninggalnya Yy di Bengkulu menyeruak. Ternyata, kemudian mata kita terbelalak, karena kejadian demi kejadian kekerasan terhadap anak dan remaja sudah sangat banyak terjadi di negeri ini. Dan telah cukupkah upaya kita mencegah dan menanggulangi kasus-kasus serupa Yy kembali terulang di negeri ini? Jawabannya jelas: belum.

Remaja: Apakah Selalu Negatif?

Saya teringat pada saat berkesempatan memberi pembekalan terhadap para finalis duta GenRe di Kabupaten Gresik – Jawa Timur. Saya bersyukur, melihat raut wajah dan tatapan mata yang cerah, cerdas, dan kritis para finalis GenRe tersebut, seakan membisikkan selalu ada harapan bahwa para remaja kita masih banyak yang bercitra positif, bersemangat berkarya, dan menebar “virus” kebaikan di kalangan sebayanya. Berada bersama para adik-adik remaja pilihan ini, saya berupaya menyentuh kepekaan dan memperluas wawasan para adik-adik remaja yang nantinya akan banyak berperan memberi edukasi mengenai berbagai isu terkait remaja.

Ada beberapa hal yang menggelitik saya, yang saya peroleh dari pertanyaan demi pertanyaan yang terlontar dari adik-adik finalis duta GenRe pada saat itu. Salah satunya yakni tersirat bahwa peserta mengetengahkan fenomena yang mereka tangkap dari teman-teman mereka bahwa sebagian dari remaja di Gresik sudah mengamini pola pergaulan bebas, dan di antara mereka tampaknya belum benar-benar menyadari bahayanya, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.

Meski mungkin tidak banyak “sangu” yang saya bisa berikan pada adik-adik remaja tersebut, saya mendoakan tiap kata yang saya ucapkan. Saya yakin, kata-kata yang berasal dari hati, yang bermuatan doa, akan menjejak dan tak mudah berlalu begitu saja. Insya Allah.

Haruskah Kita Putus Asa?

Dengan tegas saya katakana: TIDAK. Kita sungguh tidak boleh berputus asa terhadap berbagai permasalahan yang tengah terjadi. Termasuk yang tengah dialami para adik-adik dan anak-anak remaja kita. Pendidikan karakter memang bukan sesuatu yang semudah membalikkan telapak tangan. Bukan pula magicyang merubah seseorang / sekelompok orang dalam semalam. Namun tetep perlu kita upayakan, sejauh kemampuan kita. Apabila kita menyerah, artinya kita merelakan negeri ini semakin cepat karam. Menghadapi gunung es permasalahan remaja, kita tentu tak ingin negeri kita berakhir tenggelam di dasar laut bersama bangkai kapal Titanic.

Salah satu pakar pendidikan karakter, Thomas Lickona menegaskan bahwa

Menumbuhkan nilai-nilai positif merupakan hal yang tidak mudah. Saat kita memasuki milenium baru, ingatlah dengan baik, bahwa ukuran kemajuan suatu negara bukanlah besarnya pendapatan nasional, kemajuan teknologi, atau kekuatan militernya, melainkan karakter penduduk (generasi muda)-nya

-Thomas Lickona

Dan hal ini memang sesuatu yang terus berproses, sebagaimana ujar Charles Reade (dalam Borba, 2008)

Tanamkan buah pikiran dan Anda akan menuai tindakan; tanamkan tindakan dan Anda akan menuai kebiasaan (habit); tanamkan kebiasaan dan Anda akan menuai karakter; tanamkan karakter dan Anda akan menuai keuntungan.

-Charles Reade, dalam Borba (2008)

Berdamai Dengan Remaja

Maka, Bagaimanapun potret remaja kita saat ini, kita perlu memandang adik-adik / anak-anak remaja kita dengan tatapan mata penuh kasih sayang. Tidak mudah menjadi remaja di era digital saat ini, itu harus kita sadari. Para remaja kita butuh bimbingan, dukungan, dan bantuan kita: para orang tua, para kakak, dan para sahabat remaja mereka. Kita bisa kedepankan empati ketika bersama para remaja. Coba tanyakan dan jawab secara jujur beberapa pertanyaan ini:

Siapa yang melabel masa remaja identik dengan masa bermasalah?

(jawabannya adalah: kita para orang dewasa, bukan mereka sendiri)

Bagaimana remaja bisa berhasil mengukir prestasi jika citra diri yang diberikan kepadanya dipenuhi ketakutan, ancaman, dan kecurigaan?

(Tentu sulit, bukan?)

  • Apakah kita pernah berada dalam masa seperti yang dialami para remaja saat ini, dibombardir stimulus digital, digoda pornografi, gadget, sedangkan orang tua sibuk dengan diri mereka sendiri?
  • (Jawabannya adalah: Tidak)

Tidak hanya itu,

Setelah citranya dilukai, remaja tetap dijadikan pasar potensial untuk berbagai komoditas. Dan coba tebak, siapa yang menjadikan mereka pangsa pasar?

(Ya, jawabannya adalah: orang dewasa)

Maka, pantaskah kita judge mereka? Patutkah kita meremehkan mereka? Sudah siapkah kita “kehilangan” mereka?

Saya yakin jawabannya adalah TIDAK

Yuk, mari bersama-sama merangkul adik-adik/ anak-anak remaja kita. Kita buka ruang untuk berbincang, berdialog, bercakap-cakap dari hati ke hati. Dengan begitu, ketika ada permasalahan, mereka tidak akan lari ke narkoba, tidak akan lari ke game online, tidak akan lari ke seks bebas. Karena mereka tahu, kita peduli. Kita ada, membuka hati, meluangkan waktu untuk mereka. Kita sayang dan peduli kepada mereka.

Kalau kita menginginkan adik-adik/ anak-anak remaja kita bermental sehat, berjiwa tangguh, yuk kita bantu mereka. Kita beri tauladan mental yang tangguh dan tahan banting ketika didera berbagai permasalahan hidup itu bagaimana? Atau kalau kita merasa belum bisa memberi contoh yang baik, kita kuatkan mereka melalui dukungan moral / psikologis. Apapun yang bisa kita lakukan, kita lakukan. Tak ada upaya berbuat baik yang kecil. Semuanya bermakna. Sekecil apapun kebaikan di mata manusia, insya Allah berlipat ganda nilainya di mata Tuhan.

Kalau kita kebetulan punya adik remaja, yuk jadi kakak yang care... Kalau kita kebetulan orang tua dari anak remaja, yuk berdamai dengan anak remaja kita. Kesampingkan ego kita untuk selalu terlihat benar. Orang tua juga manusia, tho? Terkadang kita juga perlu meminta maaf pada anak remaja kita kalau memang kita telah berbuat salah. Tak mudah mengesampingkan ego, tapi it's worth it, percaya deh.

Children (and Teens) Learn What They Live

Puisi yang menyentuh dari Dorothy Law Nolte mungkin bisa mewakili bagaimana pentingnya cara kita mengasuh dan mendidik anak-anak remaja kita terhadap karakter mereka.

Jika ia dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki

Jika ia dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika ia dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri

Jika ia dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri

Jika ia dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri

Jika ia dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika ia dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Jika ia dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan

Jika ia dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar kepercayaan

Jika ia dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri

Jika ia dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

(dari Dorothy Law Nolte “Children learn what they live”)

Terakhir, selalu dan selalu saya meminta kita semua untuk menjaga, melindungi, dan membentengi diri beserta keluarga kita dengan doa. Hanya Tuhan. Hanya Allah SWT yang Maha Melindungi. Dan setelah segala upaya, kepada-Nya lah kita berserah dan berpasrah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun