Di Perusahaan X terdapat areal tanaman belum menghasilkan, lebih tepatnya  TBM 3 dengan luas areal tanaman yaitu 5 Ha. Berdasarkan tahun tanam, tanaman kelapa sawit ini seharusnya sudah masuk ke dalam kategori TM 1. Tanaman kelapa sawit ini ditanam pada tahun 2017, jika dihitung sampai tahun 2020 maka tanaman kelapa sawit ini sudah berusia 36 bulan dan seharusnya sudah memasuki masa panen pertama pada bulan Januari 2021.Â
Namun sampai saat ini tanaman tersebut belum layak untuk dilakukan panen pertamanya, karena persentase jumlah tanaman belum menghasilkan belum mencukupi untuk dijadikan tanaman menghasilkan, sehingga  tanaman kelapa sawit ini masih masuk ke dalam kategori TBM 3. Bahkan sampai satu tahun ke depan pun tanaman ini belum layak untuk dijadikan TM 1.
Kriteria TBM 3 yang bisa dijadikan TM 1  yaitu umur telah mencapai 30-36 bulan, panjang pelepah kurang lebih 9 meter, panjang daun bagian bawah  maksimal 15 cm,  diameter batang bawah 60-100 cm, jumlah bunga betina kurang dari 3, berat tanda sudah mencapai 5 Kg dan angka kerapatan panen sebesar 60%. Dari hasil pengamatan yang dilakukan hanya sekitar 28% tanaman yang layak dijadikan TM 1 dari total tanaman yang ada di lahan tersebut. Syarat perubahan dari TBM 3 ke TM 1 yaitu harus 60-70% dari total luasan yang ada sudah layak untuk dipanen.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemeliharaan yang dilakukan pada tanaman belum menghasilkan (TBM) tidak dilakukan sesuai dengan standar operasional perusahaan (SOP). Beberapa alasan yang menurut mandor menyebabkan hal ini dapat terjadi diantaranya yaitu tanaman kelapa sawit tidak ditunas, jarang dikastrasi, terserang jamur, beberapa tanaman kerdil dan habis dimakan hama landak.
Kegiatan menunas pada TBM disebut juga tunas pasir. Tunas pasir adalah kegiatan memotong daun-daun tua tanaman kelapa sawit yang tidak bermanfaat lagi bagi tanaman. Idealnya, tunas pasir dilakukan satu kali pada tanaman kelapa sawit yang berumur 24 bulan atau 6 bulan sebelum panen perdana pada umur 30 bulan (Ditjenbun,2014).Â
Hal ini bertujuan agar kegiatan pemeliharaan tanaman mudah dilakukan. Namun yang terjadi dilapangan tanaman kelapa sawit ini baru ditunas ketika sudah berumur 36 bulan.Â
Dengan kata lain tunas pasir yang dilakukan sudah sangat terlambat. Sehingga berdampak pada penyerapan unsur hara, seharusnya unsur hara yang diserap oleh tanaman dapat digunakan untuk menunjang produktifitas tanaman kelapa sawit, namun karena kegiatan tunas pasir yang dilakukan sudah terlambat, unsur hara yang diserap oleh tanaman digunakan untuk memperbaiki daun-daun tua yang sudah tidak bermanfaat lagi. Selain itu, juga berdampak pada terhambatnya proses pemeliharaan tanaman kelapa sawit.
Kastrasi adalah pembuangan bunga, baik bunga jantan ataupun bunga betina pada tanaman kelapa sawit. Kastrasi seharusnya dilakukan setiap bulan pada tanaman kelapa sawit mulai umur 12 bulan dan dihentikan pada umur fisiologis 24 bulan (Ditjenbun, 2014). Namun hal ini tidak dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya, kegiatan kastrasi ini baru dilakukan ketika tanaman kelapa sawit berumur 36 bulan.Â
Sehingga tanaman kelapa sawit sudah menghasilkan buah, namun buah yang terbentuk merupakan buah yang belum produktif dan belum layak untuk dijual. Kastrasi dilaksanakan sejak bunga jantan/betina mulai keluar dengan tujuan mempercepat pertumbuhan vegetatif serta mengurangi resiko serangan jamur marasmius sp.
Jamur marasmius sp adalah salah satu jamur yang menyerang tanaman kelapa sawit. Jamur ini dikenal dengan nama penyakit busuk buah. Penyakit busuk buah disebabkan oleh jamur yang menginfeksi tandan sehingga menjadi busuk. Faktor yang mendorong timbulnya penyakit ini yaitu karena kastrasi dan penunasan yang tidak dilakukan.
Menurut Ditjenbun, (2014) faktor yang mendorong timbulnya penyakit busuk buah antara lain kebersihan tanaman, kurang terpelihara, piringan sempit, penunasan terlambat, defisiensi hara, dan curah hujan tinggi. Penyakit ini ditandai dengan gejala awal adanya miselia cendawan berwarna putih pada kulit buah dan tandan.Â