Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tertindasnya Pepohonan sebagai Korban Alat Peraga Kampanye

15 Januari 2024   20:18 Diperbarui: 19 Januari 2024   19:47 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Pengalaman bercerita. Suami saya punya pohon surian di kebun, yang dia tanam di pinggir jalan raya.

Saat ditebang dan dibelah, dia sukses menghancurkan mata gergaji tukang senso. Di dalamnya terdapat paku yang jumlahnya tidak terhitung. Usianya sudah 20 tahun. Jika dibagi 5, pohon tersebut mengalami penyiksaan setidaknya 4 kali pemilu.

Kalau rata-rata satu pohon dipaku 4-5 APK, hitung saja berapa paku yang menancap dalam satu masa kampanye caleg dan capres cawapres. Belum lagi musim pilkada dan spanduk iklan.

Sebagaimana kita ketahui, surian adalah jenistanaman penghasil kayu berkualitas baik. Gara-gara daging batangnya rusak, pokok yang seharusnya bisa menghasilkan uang jutaan rupih itu terbuang percuma. 

Malahan sang pemilik bayar ganti rugi pada pekerja. Karena 2 mata gergaji mesin sensonya hancur, ditambah biaya BBM dan oli bekas.

Peraturan tinggal peraturan

Sepertinya memasang APK di batang kayu dengan dipaku telah menjadi tradisi setiap menyambut pesta demokrasi di negeri ini. Peraturan tinggal peraturan, pelanggaran terus jalan. Toh tidak ada pula kelaziman sebelum menancapkan baliho di pohon harus ada izin dari yang berhak.

Pemilik tanaman pun tidak berdaya. Terutama jika batang kayunya berada di kebun yang hanya dijenguk kapan sempatnya saja.

Penutup

Kita harus mengakui, pemasangan APK di tempat-tempat tertentu termasuk di pohon-pohon, dapat membantu warga mengenal siapa sosok yang akan mereka pilih. Barangkali caranya yang perlu ditertibkan, supaya tidak merusak ekologi dan merugikan pihak lain.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun