Belum lagi risiko lain. Tak jarang tanaman yang dipelihara bertahun-tahun,  maling  panen duluan. Sembilan tahun yang lalu kami pernah mengalaminya. Kayu manis kami umur 6 tahun ludes semua.
2. Sejarah  belum pernah mencatat, petani Kerinci kaya dari hasil bertanam alpukat
Semasa nilai jual kayu manis dan kopi sedang berjaya, petani Kerinci banyak yang kaya (versi orang kampung). Kejayaan serupa belum pernah mereka nikmati dari hasil alpukat. Â Wajar, petani Kerinci kurang tergiur untuk menanamnya, dan masih fanatik pada kayu manis dan kopi.
Padahal pengelolaan buah alpukat relatif mudah. Tawar menawar dengan pengumpul, kalau cocok silakan panen sendiri, timbang sendiri, angkat sendiri. Empunya tinggal  terima duit. Urusan selesai.
Tetapi kalau di kebun, alpukat juga banyak kendala. Di saat dia  sedang berbuah, musuhnya berjibun. Mulai monyet, tupai, sampai ke monyet kepala hitam. Ha ha ....
Saya dan suami  hanya bisa menikmati hasil panen alpukat di belakang dan depan rumah.  Alhamdulillah lumayan. Kalau sedang mahal rata-rata sepohon dapat Rp 1 juta. Cukup untuk nambah beli pulsa nenek blogger. Ha ha .....
Kendala lainnya, bila tak laku dijual, alpukat terbuang sia-sia. Beda dengan kayu manis dan kopi, bisa disimpan bertahun-tahun.
Demikian 2 alasan petani Kerinci tidak tergiur berkebun alpukat. Sejatinya banyak alasan lain. Biar singkat, kita padai  hingga ini saja.
Terakhir mohon maaf, artikel ini hanya opini pribadi, berdasarkan pengamatan  di lingkungan.  Bukan hasil survei atau sejenisnya. Semoga bermanfaat.
*****