Selain kayu manis atau cassiavera, kopi, dan sayuran, Kabupaten  Kerinci juga terkenal sebagai daerah penghasil alpukat (Persea americana).
Dahulu, di kebun kami, buah  kaya nutrisi itu dibiarkan jatuh berguguran dari pohonnya. Dimakan tidak seberapa, dijual  paling Rp 1500 / kilo. Tak sebanding dengan biaya operasionalnya. Bahkan  tidak laku.  Akhirnya banyak pohonnya ditebang.Â
Saya pernah kecewa gara-gara buah alpukat. Sebelumnya ada kesepakatan dengan oknum pedagang pengumpul. Katanya dia mau beli dan menjemputnya 3 hari mendatang.
Taunya,  pas waktu yang dijanjikan dia tidak muncul. Buah alpukat 1 karung  itu terbuang percuma. Saya sedih membayangkan betapa keringat suami saya bercucuran saat memanen. Rata-rata pohon alpukat kami tinggi. Antara 6-12 meter.  Belum lagi membawanya pulang.  Satu  jam  naik motor.
Alhamdulillah, beberapa tahun terakhir situasi telah berubah. Banyak pedagang memburu buah alpukat sampai ke desa-desa. Bahkan jemput bola sampai ke kebun. Mereka pedagang pengumpul  lokal dan dari luar daerah. Katanya untuk dikirim ke Jakarta, dan Pekanbaru.
Tarifnya menyasuaikan. Kalau musimnya berbuah lebat, Â paling per kilonya Rp 6 ribuan. Â Saat normal antara Rp 10-12 ribu.
Bagi petani  pencari keringat seperti cowok gantengku, nilai segitu cukup lumayan. Pedagang di pasar buah membandrolnya Rp 15-20 ribu sekilo.Â
Wajar. Mereka juga mau untung. Risiko rugi  selalu mengintai. Andaikan kelamaan dipajang tak laku-laku, banyak yang busuk. Riwayat sang alpukat  berakhir di tong sampah. Â
Sayangnya sampai saat ini belum banyak petani Kerinci yang tergiur berkebun khusus alpokat. Paling ada beberapa pohon  sebagai tanaman selingan.
Jika ditelusuri lebih detil, Â ada beberapa alasan petani Kerinci enggan berkebun alpukat. Di antaranya:
1. Petani Kerinci terlanjur fanatik pada tanaman kayu manis dan kopi.Â
Barangkali ini yang disebut  ikatan emosianal. Petani Kerinci terlanjur cinta pada tanaman komuditi kayu manis dan kopi. Kecintaan mereka telah tumbuh dan terpelihara sejak zaman nenek moyang.
Padahal,  usai kayu manis ditanam, mereka harus memelihara dan menunggunya  belasan tahun baru bisa dipanen.Â
Sebelum dijual, proses pengolahannya rumit dan panjang.  Setelah pohonnya ditebang ,  dipisahkan kulit batang dari kayunya. Terus  diangkut keluar dari area kebun, selanjutnya  dibawa pulang. Kemudian dikikis/dibuang  kulit luarnya, terakhir dijemur, baru jadi uang.
Umumnya lokasi kebun petani Kerinci itu  di pegunungan.  Untuk ke sana jalan kaki, mendaki dan menuruni perbukitan.
Demikian juga buah kopi. Masa tunggunya memang lebih singkat daripada kayu manis. Dua-tiga tahun sudah menghasilkan.
Setelah buahnya dipetik dari pohonnya, dijemur pada terik matahari sampai kering benaran. Kemudian  ditumbuk mengeluarkan bijinya, untuk dijual.
Menjemur kayu manis dan buah kopi bukan perkara mudah. Â Terlebih jika kebetulan panen pada musim hujan. Andaikan barang tersebut sudah kering atau mendekati kering, tiba-tiba hujan turun mendadak. Emaaak .... Ampuuun .... Â Sekiranya masih basah, tidak masalah biarkan saja di penjemuran.
Mengolah kopi sekarung dua karung mungkin belum apa-apa. Bagaimana jika jumlahnya puluhan? Siapa yang kuat, coba! Harga jual kayu manis dan kopi sering pula mengalami pasang surut.
Belum lagi risiko lain. Tak jarang tanaman yang dipelihara bertahun-tahun,  maling  panen duluan. Sembilan tahun yang lalu kami pernah mengalaminya. Kayu manis kami umur 6 tahun ludes semua.
2. Sejarah  belum pernah mencatat, petani Kerinci kaya dari hasil bertanam alpukat
Semasa nilai jual kayu manis dan kopi sedang berjaya, petani Kerinci banyak yang kaya (versi orang kampung). Kejayaan serupa belum pernah mereka nikmati dari hasil alpukat. Â Wajar, petani Kerinci kurang tergiur untuk menanamnya, dan masih fanatik pada kayu manis dan kopi.
Padahal pengelolaan buah alpukat relatif mudah. Tawar menawar dengan pengumpul, kalau cocok silakan panen sendiri, timbang sendiri, angkat sendiri. Empunya tinggal  terima duit. Urusan selesai.
Tetapi kalau di kebun, alpukat juga banyak kendala. Di saat dia  sedang berbuah, musuhnya berjibun. Mulai monyet, tupai, sampai ke monyet kepala hitam. Ha ha ....
Saya dan suami  hanya bisa menikmati hasil panen alpukat di belakang dan depan rumah.  Alhamdulillah lumayan. Kalau sedang mahal rata-rata sepohon dapat Rp 1 juta. Cukup untuk nambah beli pulsa nenek blogger. Ha ha .....
Kendala lainnya, bila tak laku dijual, alpukat terbuang sia-sia. Beda dengan kayu manis dan kopi, bisa disimpan bertahun-tahun.
Demikian 2 alasan petani Kerinci tidak tergiur berkebun alpukat. Sejatinya banyak alasan lain. Biar singkat, kita padai  hingga ini saja.
Terakhir mohon maaf, artikel ini hanya opini pribadi, berdasarkan pengamatan  di lingkungan.  Bukan hasil survei atau sejenisnya. Semoga bermanfaat.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H