Tersiar kabar dari mulut ke mulut, di desa tempat saya berdomisili sedang populer usaha budidaya pembesaran lele organik, hanya menggunakan kolam terpal yang dipasang pada lahan pekarangan.
Yang menarik, hasilnya bukan cuma untuk konsumsi keluarga. Tetapi menjadi ladang menghasilkan rupiah puluhan juta per bulan.
Didorong rasa penasaran, usai jalan pagi, Jumat 28 Agustus lalu saya meluncur ke lokasai. Tepatnya di RT 03 Simpang Empat Tanjung Tanah.
Begitu sampai di sana, saya berhadapan dengan pemandangan tak biasa. Belasan benda warna coklat muda, berjejer di atas lahan kurang lebih 20 x 12 M. Saya berpikir, inilah yang disebut kolam terpal.
Seorang pria muda mundar-mandir di sela-sela bangunan bulat berlapis terpal biru itu. Beliau adalah Yunus Ismail, sang pemilik usaha.
Pria 47 tahun itu menyambut saya ramah. Meskipun tanpa janjian terlebih dahulu. Nyerobot dari belakang pula. Pas di lokasi kolam, di halaman belakang rumah pribadinya.
Sayangnya, saya datang pada momen yang kurang tepat. Sebagian besar kolamnya sudah kosong, karena telah dipanen 5 hari yang lalu.
Pria yang biasa disapa ayah Yutika itu mengawali perbincangan. “Tidak susah-susah amat, Bu. Sebab saya jadi mitra DHD Farm Indonesia. ”
“Caranya?”
Bapak dua anak itu mulai bercerita panjang lebar.
“Kemudian perusahaan mengirimkan bahan dan pekerja untuk memasang kolam terpal berdiameter 2 M tinggi 1 M. Tanpa biaya tambahan.
“Pertama saya ambil 3 unit. Maklum, takut ketipu. Karena belum ada potret keberhasilan sebagai model. Itupun setelah 3 kali saya survei ke lokasi pengembangan dan kantor DHD Provinsi di Kota Jambi. Teman saya ada yang langsung meninjau ke kantor induknya di Palembang, Sumsel.
“Dengan bismillah, akhir 2018 saya dan beberapa teman dari kecamatan berbeda, memberanikan diri untuk mendaftar. Kami adalah orang pertama bergabung dengan DHD.
“Setelah menikmati hasilnya, saya nambah dan nambah lagi sampai 4 kali. Sekarang jumlahnya jadi 18 unit.”
Menyimak penjelasan pria lulusan SMA ini, cara berkolaborasi dengan DHD Farm ini terbilang mudah, unik, dan menarik. Pelaksanaannya terbagi dalam dua tahap.
1. Lima Bulan Pertama Dianggap Masa Pembelajaran.
Tiga puluh dua hari kemudian, petugas perusahaan memanen bocah-bocah lele tersebut. Selanjutnya dibawa ke kantor pembibitan dan lokasi plasma, di kecamatan. Terus diistirahatkan selama 3 hari.
Kemudian dilakukan penyortiran sesuai dengan pertumbuhannya. Yang agak besar terkategori tipe A, kecil sedikit tipe B, dan di bawah lagi, klasifikasi C.
Usai penyortiran, ikan-ikan tersebut dipindahtangankan ke petani lain. Untuk dirawat 32 hari berikutnya, sesuai protokol yang telah ditetapkan.
Kolam yang sudah dipanen, dibersihkan, diisi kembali dengan air baru, dan bibiarkan selama 1 minggu. Siap menyambut kedatangan benih baru.
Dalam masa 5 bulan ini hasil panen adalah milik PT DHD Farm Indonesia.
2. Enam Bulan Selanjutnya Pemberlakuan SOP
Setelah melewati masa pembelajaran, bulan ke enam dan seterusnya, anakan yang disebarkan tidak lagi bayi lele. Tetapi lele remaja usia 4 bulan. Mereka menyebutnya lele ukuran sangkal. Satu kg berisi 15-17 ekor. Tiga puluh dua hari kemudian (saat panen), targetnya menjadi 7-8 ekor per kg. Lele siap dikonsumsi.
Hitungannya, untuk satu kolam diberikan bibit 2000 ekor (120 kg) + pakan. Tootalnya Rp 2.8 juta. Kepada petani ditetapkan estimasi kegagalan <5%, dengan tuntutan pencapaian 230 kg – 260 kg.
Giliran panen, petani tak perlu sibuk mencari pasar. Seperti yang dialami oleh pembudidaya lele konvensional. Sudah susah payah mengumpulkan modal, kadang-kadang pas musim panen, produk tak laku dijual. Karena ikan lagi banjir di pasaran.
Jika diasumsikan pada capaian terendah maka , (230 x 17.000 = 3.910.000) - 2.800.000 = 1.110.000.
Artinya, dari 1 paket kemitraan (1 unit kolam) pelaku usaha memperoleh penghasilan Rp 1 juta 110 ribu untuk 1 priode.
Andaikan keberhasilannya melesat ke angka 260 kg, dengan hitungan yang sama mitra memperoleh Rp 1 juta 620 ribu. Kalau seorang kolaburator memiliki belasan paket seperti Ayah Yutika, tinggal mengkalkulasi pendapatannya berapa. Sebaliknya jika gagal panen, risiko kerugian ditanggung petani.
“Makanya, pada tahap ini kita harus ekstra hati-hati. Kalau hasil panen jauh di bawah standar, petani tak dapat apa-apa. Malahan rugi,” kata Ayah Yutika.
“Pernah rugi?” Keingintahuan saya semakin jauh.
“Alhamdulillah belum, Bu. Pandemi Covid 19 pun tak berdampak apa-apa terhadap usaha kami.”
“Di luar setoran awal, biaya apa saja yang dikeluarkan petani?”
“Nyaris nol rupiah. Pemanenan, kunjungan PPL, sampai antar jemput bibit dan hasil produk, semua gratis. Kami cuman menyediakan waktu dan tenaga. Memberinya makan 3 kali sehari. Pagi, siang dan malam, sesuai porsi yang telah ditentukan. Mengamati gerak-geriknya. Kalau kurang lincah, mungkin kesehatannya sedang bermasalah. Sagera laporkan pada petugas lapangan.
Tambahan lainnya bayar PDAM. Itupun tidak seberapa. Palingan Rp 100-an ribu satu bulannya. Sebab, setiap siklus airnya cuman satu kali isi dan tak perlu diganti. Kecuali ikannya bermasalah.
Suami Aprianti Abdullah itu membantah, “Weih ..., Bu. Hal seperti itu melanggar atran. Pemberian bibit dibarengi dengan pakan yang cukup. Jadi, lele kami dijamin kualitas dan kebersihannya.”
“Andai ada yang coba-coba curang begitu, ikannya bisa mati. Yang rugi bukan hanya DHD Farm, petani juga gulung tikar.”
Penjelasan Ayah Yutika mengubah pandangan saya, yang selama ini menganggap lele adalah ikan paling jorok.
“Saya bilang ke mereka, ‘daripada menjadi TKI Ilegal di luar negeri, lebih baik cari duit di negeri sendiri’. Tetapi mereka mengabaikan tawaran saya. Malahan ada yang terkesan ngejek,” kenangnya.
"Yang membesarkan hati, sekarang sudah puluhan warga mengikuti langkah saya. Mereka tersebar di beberapa Kecamatan dalam Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Di antaranya ada yang berlatar pendidikan Sarjana S2. Umumnya mereka yang jemput bola, mencari-cari saya minta informasi sekitar kiat menjadi klaborator DHD,” tambahnya.
Saya bertanya lagi, "Kalau boleh tahu, jimat suksesnya apa, ya?"
Ayah Yutika tertawa. "Merawatnya dengan hati, Bu. Karena makhluk bernyawa punya keterkaitan batin dengan tuannya."
Kini beliau ditunjuk sebagai Ketua Mitra untuk Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Dia, istri, dan 2 anaknya hidup dalam berkecukupan alias kaya versi saya.
Nah, Bagaimana dengan Anda? Adakah yang ingin kaya dengan usaha budidaya lele, seperti Ayah Yutika? Silakan japri beliau. Alamatnya Desa Simpang Empat Tanjung Tanah, Kecamatan Danau Kerinci, Provinsi Jambi. (15 km ke arah Timur dari Kota Sungai Penuh, 400-an km dari Kota Jambi).
Terakhir sebagai informasi tambahan, kerja sama yang ditawarkan oleh DHD ada 2. Pertama sistem budidaya pembesaran lele mandiri seperti dibeberkan pada artikel ini. Ke dua, sistem plasma, yang insyallah akan dipaparkan pada sesi lain.
Demikian ulasan ini ditulis berdasarkan tinjauan di lapapangan. Andai penjabarannya kurang lengkap, silakan kompasianer lain menambahkan. Semoga bermanfaat.
****
Sumber video: Dokumentasi Yunus Ismail.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H