Membeli jajanan keliling mewakafkan  sensasi tersendiri bagi kami anak kos era 70-an. Penjajanya anak-anak cowok usia SD-SMP.
Sebagian bocah-bocah tersebut menjual kue orang lain. Bukan bikinan orang tuanya sendiri.
Mereka hanya menerima komisi dari empunya  sesuai jumlah barang yang terjual. Uangnya mereka gunakan untuk meringankan beban hidup orang tua.Â
Baragam kue mereka tawarkan. Yang paling  kami suka adalah godok paruik ayam berbahan baku singkong dan  kue mangkuak (mangkok) dari tepung beras.
Saya sekamar dengan teman-teman  dari desa TP, yang terkenal dengan sawahnya yang luas.  Setiap bulan stok beras mereka surplus. Daripada berkutu, lebih baik disimsalabim jadi kue. Nyantapnya bersama-sama.Â
Zaman itu anak-anak  menjaja kue dan  es adalah hal lumrah. Trayeknya, jalanan di tengah Kota Sungai Penuh sampai ke lorong-lorong pemukiman penduduk.
Penjual kue berteriak-teriak dengan beban di kepala, pengasong es mempromosikan dagangannya dengan termos tentengan.
Luar biasa. Mereka adalah petarung ulung. Masa kanak-kanak yang seharusnya dinikmati dengan bermain, mereka malah bergulat dengan beban hidup.
Sering mereka dibully. Lagi asyiknya berteriak, " Es ..., mambo ... es .... Pokat ..., Â durian lemon, eeeesss ...."
"Eeesss ...!" sahut pembeli dari arah sana.Â
Si tukang es berlari terbirit-birit menuju sumber suara. Berulang kali dia berteriak, Berkali-kali pula calon pembelinya membalas.
Ternyata orangnya sekadar mengolok-olok saja. Mereka bersembunyi  entah di mana. Hal serupa dialami juga oleh tukang kue.
Sekarang  bocah-bocah pebisnis itu tak tanpak lagi. Mungkin kondisi ini tak jauh beda dengan kota-kota kecil lain di Indonesia.
Barangkali profesi  ini telah terkikis dari dunia  anak-anak, karena berbagai hal. Di antaranya; Â
1. Dampak dari Program Wajib Belajar
Dahulu pendidikan di Indonesia ini merupakan barang mahal, dibandingkan sekarang. Jangankan pendidikan tinggi. SD dan SMP saja hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu.
Tanggal 2 Mei 1984 Presiden  Soeharto mencanangkan Program Wajib Belajar 6 tahun. Pak Harto menghendaki anak-anak Indonesia usia 7-12  mendapat akses pendidikan minimal lulus SD.
Sepuluh tahun kemudian ditingkatkan menjadi 9 tahun. Artinya, setiap anak diharuskan mendapat pendidikan lulus SMP, dengan biaya gratis. Â
Salah satu dampaknya, Â satu persatu wajah lugu si penjaja dagangan jalanan tersebut tenggelam dalam bangku pendidikan.
2. Perekonomian Berangsur Membaik
Diakui atau tidak, seiring dengan kemajuan zaman, pendidikan dan ilmu pengetahuan  masyakat semakin maju. Hal tersebut dibarengi  dengan meningkatnya  perekonomian keluarga.
Dahulu petani menanam padi di sawah hanya sekali dalam setahun. Lahan-lahan gersang banyak yang nganggur.
Sekarang  semuanya bisa diatur. Siklus menanam bisa mencapai 3 kali setahun. Bibit dibuat unggul, ditopang dengan infrastruktur yang cukup.
Tanah yang katanya tandus, diberi pupuk dan didukung ilmu olah tanah yang memadai. Hasil panen melimpah ruah. Kendalanya, produk pertanian kita kalah nilai jual.
Belum lagi kemajuan di bidang industri, perdagangan, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, anak-anak tak banyak lagi diperbantukan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka diberi kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah.
3. Hadirnya  Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Sejak berdirinya KPAI tahun 2002, banyak sedikitnya hak anak terlindungi. Â Walaupun belum sesuai dengan harapan.
Setidaknya, amanat UU No 23 Tahun 2002 tersebut  membatasi orang tua agar tidak melibatkan anak-anaknya dalam urusan mencari nafkah.Â
Para pengusaha tidak dibenarkan mempekerjakan anak-anak dibawah umur. Termasuk menjaja makanan. Intinya, segala bentuk eksploitasi terhadap anak-anak harus dihapuskan.
Tak heran, bocah-bocah pebisnis jajanan itu nyaris tak terlihat lagi menghiasi jalanan kota dan lorong-lorong pemukiman. Khususnya di kota Sungai Penuh.
Saya minta izin ke cowok gantengku meninggalkan ruangan. Terus keluar menunggu tukang senandung onde-onde itu lewat. Rencana saya mau beli terus minta kesediaan penjualnya difoto.
Ternyata, penyuara nyanyian itu bukan anak-anak. Tetapi perempuan setengah baya. Saya urungkan niat untuk memanggilnya. Takutnya dia tersinggung jika diajak selfi.Â
Tanpa sepengatahuan dia, saya menjebretnya satu kali. Spontan pula dia menoleh ke kamera. Saya langsung kabur, kembali masuk ke warung sate.
 Inilah 3 penyebab bocah-bocah pedagang kue dan es keliling tak nampak lagi batang hidungnya di jalanan. Khususnya di Kota Sungai Penuh. Bagaiman dengan  kota Anda
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H