"Eeesss ...!" sahut pembeli dari arah sana.Â
Si tukang es berlari terbirit-birit menuju sumber suara. Berulang kali dia berteriak, Berkali-kali pula calon pembelinya membalas.
Ternyata orangnya sekadar mengolok-olok saja. Mereka bersembunyi  entah di mana. Hal serupa dialami juga oleh tukang kue.
Sekarang  bocah-bocah pebisnis itu tak tanpak lagi. Mungkin kondisi ini tak jauh beda dengan kota-kota kecil lain di Indonesia.
Barangkali profesi  ini telah terkikis dari dunia  anak-anak, karena berbagai hal. Di antaranya; Â
1. Dampak dari Program Wajib Belajar
Dahulu pendidikan di Indonesia ini merupakan barang mahal, dibandingkan sekarang. Jangankan pendidikan tinggi. SD dan SMP saja hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu.
Tanggal 2 Mei 1984 Presiden  Soeharto mencanangkan Program Wajib Belajar 6 tahun. Pak Harto menghendaki anak-anak Indonesia usia 7-12  mendapat akses pendidikan minimal lulus SD.
Sepuluh tahun kemudian ditingkatkan menjadi 9 tahun. Artinya, setiap anak diharuskan mendapat pendidikan lulus SMP, dengan biaya gratis. Â
Salah satu dampaknya, Â satu persatu wajah lugu si penjaja dagangan jalanan tersebut tenggelam dalam bangku pendidikan.
2. Perekonomian Berangsur Membaik
Diakui atau tidak, seiring dengan kemajuan zaman, pendidikan dan ilmu pengetahuan  masyakat semakin maju. Hal tersebut dibarengi  dengan meningkatnya  perekonomian keluarga.
Dahulu petani menanam padi di sawah hanya sekali dalam setahun. Lahan-lahan gersang banyak yang nganggur.