Untuk tahun ini pemerintah RI Â meniadakan upacara untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), yang seyogyanya jatuh pada hari kemarin, Sabtu 2 Mei 2020.
Ritual tahunan itu hanya diselenggarakan secara terpusat, terbatas, dan memerhatikan protokol kesehatan pencegahan penyebaran  Covid-19,  yang telah ditetapkan pemerintah. Â
Tentu suasananya berbeda dengan Hardiknas  tahun-tahun sebelumnya. Upacara diselenggarakan oleh kantor instansi pusat dan daerah, setiap satuan pendidikan, serta kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
Sebagai mantan guru, bagi saya dilaksanakan upacara atau tidak  bukan hal penting. Yang jauh lebih penting adalah  bagaimana anak bangsa ini mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik. Di tengah berkecamuknya perang melawan Covid-19.
1. Pihak Siswa dan Orangtua
Seminggu saya mendampingi cucu kelas 5 SD Â belajar online di Kota Jambi. Waduh ... Emak. Serasa jadi guru prifat.
Sibuknya mungkin kurang lebih sama dengan aktivatas belajar di sekolah, karena si cucu, terbiasa dengan full day scholl di SDIT Al-Azhar. Yang capek bin pusing adalah orangtua. Mau-tak mau mereka harus mengambil alih tugas guru.
Seketika saya membayang wajah-wajah tetangga dan emak-emak desa yang anaknya bersekolah di pedesaan. Â
Kenapa hanya emak-emak. Bapak-bapaknya ke mana? Untuk sementara anggap saja ini tugas isteri. Karena suaminya di luar rumah mencari nafkah.
Bagi siswa yang orangtuanya berpendidikan tinggi mungkin tidak terlalu bermasalah. Banyak sedikitnya  mereka menguasai teknologi. Yang penting punya gawai,  ada duit buat beli kuota. Dan yang paling urgen jaringan internet lancar.
Yang kasian anak-anak dari keluarga minim pendidikan. Malahan ada orangtuanya yang tidak bisa baca tulis. (Maaf bukan maksud merendahkan. Ini fakta).
Diperparah pula dengan ekonomi yang sangat lemah. Jangankan smartphone, lap top, HP nokia jadul saja banyak yang belum punya. Bapak dan emaknya sibuk dengan urusan perut. Pergi pagi pulang sore.
Masalah lain tak kalah runyam, tidak semua desa dialiri jaringan internet. Atau  mungkin ada tapi sinyalnya lemot bin lelet. Katakanlah desa tetangga sebelah, jarak 1 km dari kediaman saya. Sampai hari ini  warganya belum menikmati jalur Tol langit.
Bagi siswa SMP, SMA, dan Mahasiswa, okelah. Mereka bisa pergi ke desa lain yang sinyalnya melimpah.
Lalu bagaimana dengan anak SD?  Percaya atau tidak, di pedusunan seperti ini  selama sekolah diliburkan karena terdampak Virus Corona, kegiatan pembelajaran mereka setop total.
2. Pihak Guru
Tidak semua guru menguasai teknologi. Jangankan mengutak-atik internet, membuka dan berkirim SMS Â via HP jadul saja banyak yang tidak bisa. Tahunya cuman nelepon. Terutama Bapak dan Ibu Guru yang sudah berumur.
Kemarin saya nelpon 3 teman guru usia 5 puluhan. Ketika ditanya masalah belajar online, ketiganya memberikan jawaban senada, "Saya tak pandai mengajar online, Bu. Membuka laptop saja saya tak bisa. Apalagi internetan," kata Ibu BR (56) di ujung sana.
Ketika ditanya pengalamannya seputar belajar daring, bapak 3 anak itu mengaku, sesekali dia harus mendatangi siswanya ke alamat masing-masing.
"Sampai di sana, saya dan siswa jaga jarak, Bu. Saya di luar, mereka dalam rumah." Pak Guru yang pernah mengajar di SD yang saya pimpin ini tertawa berderai-derai. Dia memang tipe makhluk suka melucu.
Pak Sandi menambahkan, Â kunjungan tersebut dilakukannya kalau sang murid mengalami kendala dalam belajajar daring. Khususnya mata pelajaran matematika.
Padahal, dia tinggal di Kota Sungai penuh, memiliki sedikit keterbatasan physik pula. Siswanya berdomisili di desa tempatnya mengajar. Untuk ke sana harus naik ojek sejauh kurang lebih 35 km.
"Habis mau bagaimana lagi, Bu. Saya jelaskan via HP, mereka tidak paham. Mau dikirim video atau VC, sinyal di sana tidak lancar. Palingan bisa nelepon. Itu pun sering putus-putus. Kalau mereka mau menghubungi saya, terlebih dahulu mencari posisi dimana titik-titik sinyal yang mendukung," keluhnya.
Hambatan di atas baru segelintir saja. Belum menyentuh akar permasalahannya. Apa hendak dikata. Tiada yang harus disalahkan. Karena negara ini dalam keadaan darurat Corona. Pendidikan pun ikut amburadul.
Oleh sebab itu, diharapkan arahan yang jelas dari Dinas Pendidikan di daerah-daerah. Bagaimana menerapkan pembelajaran jarak jauh ini.
Apa pula solusinya bagi daerah yang belum didukung oleh sistem komunikasi memadai, Â Bahkan ada yang nol jaringan. Termasuk penanganan anak-anak keluarga miskin yang tak mampu membeli gawai dan kuota internet. Dan sarana prasarana lainnya.
# SalamDariRumahAja. di Pinggir Danau Kerinci.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H