1. Bedug Â
Di kampung saya Inderapura, Sumametera Barat sana, bedug dapat ditemui di Masjid atau di Musala. Benda ini ditabuhkan pada momen-momen penting yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah umat Muslim. Seperti,  seruan untuk menunaikan salat dan  membangunkan  warga supaya bersantap sahur puasa Ramadhan.  Warga setempat  menyebutnya tabuh.
Selain itu, bedug juga dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi darurat. Di antaranya, jika ada kejadian berbahaya dalam kampung.  Seperti  kebakaran dan warga tenggelam di sungai.
Semua warga merespon sigap. Mereka  keluar rumah dan saling bertanya bahaya apa kiranya yang sedang melanda. Momen ini berlangsung kurang lebih 20 menit.  Atau setelah diyakini bahwa informasi sudah tersebar ke seluruh kampung.
Pukulan bedug seperti ini disebut "tabuh aga" atau "tabuh larangan". Saya tak tahu apa makna kata "aga" dalam prase tersebut. Sementara "tabuh larangan" maksudnya kira-kira, "dilarang membunyikan tabuh aga", kecuali pada kondisi tertentu.  Yang  pasti,  tabuh aga  hanya dibunyikan jika ada kegentingan sedang melanda suatu kampung.Â
2. Canang
Beda dengan bedug, canang digunaan untuk menyampaikan instruksi secara umum. Bukan dalam kondisi mendesak.
Umpamanya menyebarkan pengumuman. Baik yang berasal dari pemerintah kecamatan, Â maupun dari pemerintah kampung atau desa. Misalnya ajakan gotong royong serentak, Â membersihkan lingkungan, supaya segera turun ke sawah, sampai ke seruan untuk mendengar pidato presiden melalui saluran radio, dan sebagainya.
Oleh petugas, canang ini dibunyikan di sepanjang jalan desa, sambil meneriakkan isi  pesan yang diamanatkan padanya. Biasanya pembawa pesan sosok yang  tidak pemalu. Di kampung saya tukang canangnya  almarhum Pak Milus (bukan nama sebenarnya). Ciri khasnya, ketika beroperasi dia  cuma pakai celana selutut  tanpa mengenakan baju. Bocah-bocah cowok berduyun mengekor di belakangnya. Bau keringat tukang canangnya bercampur aduk dengan aroma  ingus jamaahnya. He he  ....