Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Walaupun Sudah Basi, 2 Alat Komunikasi Tradisional Ini Tetap Eksis dan Kekinian

28 Januari 2020   09:51 Diperbarui: 28 Januari 2020   10:14 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bedug Masjid Al- Osmani Kecamatan Medan Labuhan Kota Medan Provinsi Sumatera Utara di Duga Cagar Budaya. Sumber Foto kebudayaan.kemdikbud.go.id

Dari dahulu sampai sekarang, manusia selalu berusaha agar pekerjaan bisa dibuat mudah. Termasuk dalam urusan menerima dan menyampaikan informasi. Untuk itu, diperlukan media sebagai sarana perantara  yang biasa desebut  alat komunikasi.

Di era digital saat ini, kejadian di suatu tempat  dapat diketahui oleh mayarakat di belahan dunia lainnya dalam hitungan detik.  Intinya, dengan menggunakan  perangkat komunikasi modern,  jarak jauh bisa jadi dekat,  pekerjaan berat bisa jadi ringan. 

Berbeda dengan  zaman dahalu. Media komunikasi sangat terbatas. Terlebih bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan.

Semasa kecil saya sering ikut Emak ke kebun. Begitu sampai di pondok ladang beliau memukul-mukul  sepotong bambu  dengan punggung parang. Kata Emak namanya ketuk (baca: kentongan).

Seketika terdengar pula  ketokan balasan. Sumbernya dari jarak yang susah diterka.

Saya tanyakan kenapa beliau melakukan itu. Emak menjawab, "Supaya orang-orang  di sekitar sana tahu bahwa disini ada manusia."

Zaman sekarang, gaya berkomunikasi seperti ini hanya dilakukan di daerah yang belum delewati jalur tol langit.

Kisah di atas menunjukkan bahwa,  berdasarkan zamannya,  alat komunikasi itu terbagi dua. Alat komunikasi modern dan alat komunikasi  sederhana atau tradisional.

Kita semua tahu, bahwa  saat ini aneka produk alat komunikasi modern telah menyusupi semua lapisan masyarakat.  Mulai masyarakat kelas atas sampai ke rakyat akar rumput.

Alat komunikasi tradisional pun tak kalah banyak. Tetapi  hampir semuanya telah ditinggalkan.  Kecuali di daerah-daerah tertentu yang tetap dipertahankan. Mengingat nilai historisnya yang perlu dilestarikan, dan tercatat sebagai Cagar Budaya. 

Padahal jauh sebelum hadirnya alat komunikasi modern, di daerah yang jauh dari perkotaan benda tersebut sangat  penting bagi penggunanya. Dua darinya yang paling akrab dalam keseharian masyarakat pedesaan adalah:

1. Bedug  

Di kampung saya Inderapura, Sumametera Barat sana, bedug dapat ditemui di Masjid atau di Musala. Benda ini ditabuhkan pada momen-momen penting yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah umat Muslim. Seperti,  seruan untuk menunaikan salat dan  membangunkan  warga supaya bersantap sahur puasa Ramadhan.  Warga setempat  menyebutnya tabuh.

Selain itu, bedug juga dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi darurat. Di antaranya, jika ada kejadian berbahaya dalam kampung.  Seperti   kebakaran dan warga tenggelam di sungai.

Bedug besar (tabuh Aga) terletak di Kemantan Darat, Prop. Jambi. Beda dengan kampung saya, bedug ini masih difungsikan khusus untuk pemberitahuan adanya kejadian, misalnya kematian, gotong royong dan sebagainya.Sumber foto situsbudaya.id
Bedug besar (tabuh Aga) terletak di Kemantan Darat, Prop. Jambi. Beda dengan kampung saya, bedug ini masih difungsikan khusus untuk pemberitahuan adanya kejadian, misalnya kematian, gotong royong dan sebagainya.Sumber foto situsbudaya.id
Dalam  kondisi begini, bedugnya dipukul datar bertalu-talu tanpa jeda. Suana negeri  jadi mencekam. Karena seluruh Masjid dan Musala di kampung sekitar juga melakukan hal serupa.  

Semua warga merespon sigap. Mereka  keluar rumah dan saling bertanya bahaya apa kiranya yang sedang melanda. Momen ini berlangsung kurang lebih 20 menit.  Atau setelah diyakini bahwa informasi sudah tersebar ke seluruh kampung.

Pukulan bedug seperti ini disebut "tabuh aga" atau "tabuh larangan". Saya tak tahu apa makna kata "aga" dalam prase tersebut. Sementara "tabuh larangan" maksudnya kira-kira, "dilarang membunyikan tabuh aga", kecuali pada kondisi tertentu.  Yang  pasti,  tabuh aga  hanya dibunyikan jika ada kegentingan sedang melanda suatu kampung. 

2. Canang

Beda dengan bedug, canang digunaan untuk menyampaikan instruksi secara umum. Bukan dalam kondisi mendesak.

Umpamanya menyebarkan pengumuman. Baik yang berasal dari pemerintah kecamatan,  maupun dari pemerintah kampung atau desa. Misalnya ajakan gotong royong serentak,   membersihkan lingkungan, supaya segera turun ke sawah, sampai ke seruan untuk mendengar pidato presiden melalui saluran radio, dan sebagainya.

Oleh petugas, canang ini dibunyikan di sepanjang jalan desa, sambil meneriakkan isi  pesan yang diamanatkan padanya. Biasanya pembawa pesan sosok yang  tidak pemalu. Di kampung saya tukang canangnya  almarhum Pak Milus (bukan nama sebenarnya). Ciri khasnya, ketika beroperasi dia  cuma pakai celana selutut  tanpa mengenakan baju. Bocah-bocah cowok berduyun mengekor di belakangnya. Bau keringat tukang canangnya bercampur aduk dengan aroma  ingus jamaahnya. He he  ....

Canang alat musik Aceh. Sumber foto jatikom.com
Canang alat musik Aceh. Sumber foto jatikom.com
Lucunya, yang dipukul barang-barang  bekas terbuat dari besi atau ada unsur besinya.  Misalnya mata cangkul bekas, baskom sobek, dan sebagainya.  Yang penting kapan dipukul dengan potongan besi, bunyinya melengking nyaring. Bukan untuk lucu-lucuan. Tetapi semasa itu (< 1960 an) masyarakat setempat belum mengenal canang asli.

Kini, gambaran ini tinggal cerita. Cara berkomunikasi seperti ini sudah basi. Kapan masuk waktu salat, ayat-ayat suci berkumandang melalui micropon masjid dan musala. Disusul seruan azan.  Waktu berbuka puasa dan imsakiyah Ramadhan,  ditandai dengan bunyi serine.

Jika ada kebakaran,  atau warga tenggelam di sungai, suara serine meraung-raung. Plus saling teleponan antar sahabat dekat dan jauh.

Penyebarluasan pesan-pesan penting pun lebih efektif. Cukup via pengeras suara. Ditambah lewat pesan singkat di grup-grup WA.

Yang menarik, walaupun tidak lagi difungsikan sebagai alat komunikasi, beduk dan canang tetap eksis di level istimewa. Yakni sebagai alat musik tradisional dan relegi. Tampilannya dibuat cantik dan kekinian.

Bedug juga sering hadir sebagai serimonial pada even-even spesial. Di antaranya dalam rangka pembukaan acara-acara bergengsi. Seperti pesta budaya, Musabaqah Tilawatil Quran, (MTQ) tingkat nasional dan acara lainnya. Pemukulnya pun bukan orang sembarangan. Tetapi para elit negeri. Mulai  pejabat daerah sampai ke presiden.

Patut kita syukuri, kita diberkahiNya kesehatan dan umur panjang. Hingga dapat mencicipi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang membuat hidup ini lebih mudah. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun