Mahasiswa baik malah lebih banyak. Pulang kuliah mereka bekerja paruh waktu.  Terutama yang memboyong anak, isteri/suami. Maklum, beasiswa hanya jatah satu orang. Â
Mereka bekerja di perusahaan. Jadi  clining cervis di kampusnya sendiri juga ada.Â
Isteri yang mendampingi suami bisa jualan kue, sate, lontong, nasi kotak dan makanan lainnya. Konsumennya rekan sesama mahasiswa.Â
Lulus kuliah, pulang ke Indonesia. Selain menggondol titel PhD. Mereka juga membawa duit banyak.
Seorang anak muda asal Jawa. Sebut saja namanya Yono. Dia cuti dari pekerjaannya sebagai PNS di tanah air demi mendampingi isterinya kiluiah S3 di Inggris. Setiap hari  Yono berjualan tempe pakai sepeda. "Saya anak konglomelarat, Nek. Biasa hidup susah. Ibu saya seorang petani tak bisa baca tulis," akunya ketika dia mengantarkan dagangannya ke kediaman kami.
Saya geleng-geleng kepala dan menjawab, Â " Dahulu nenek juga pernah melarat."
Kepada saya Yono juga bercerita, sebelumnya dia dan isterinya sama-sama berjuang merebut beasiswa S3 Â ke Inggris. Isterinya jebol, dia belum beruntung. "Saya berusaha supaya bisa lolos tahun ini, Nek," ujarnya
Kata teman-temannya, dari hasil berjualan Yono sudah punya banyak tabungan. Padahal di Indonesia dia orang penting di Kementerian Keuangan. Andai dia diterima di S3 tahun itu (2015), tentu menggunakan biaya pribadi.
Nah, Beginilah daya juang kaum melarat. Tapi mengalahkan Reynhard anak konglomerat. Semoga bermanfaat. Salam dari Pinggir Danau Kerinci.
****
Pustaka: Â Satu, Â dua, Â tiga, empat.