Berkenalan dengan Mbak Nindy
Ini adalah keberkahan yang tiada tara atas kebersamaan saya dan Umi Sakdiyah yang cepat tanggap.Â
Melihat tayangan di layar monitor bahwa yang sedang diwawancarai host adalah Mbak Nindy Editor Kompasiana, Umi langsung mengajak saya merayap di sela kepadatan pengunjung, mencari di mana gerangan wanita cantik itu ngumpet.Â
Teringat filosofi bapak dan ibu guru di sekolah. Yang paling diingat guru di antara ribuan siswa pernah diasuhnya berada pada tiga "level paling". Pertama peserta didik paling pintar. Kedua, siswa paling bandel, dan ketiga siswa paling bodoh.Â
Nah, boleh jadi Mbak Nindy mengenal saya karena tulisan saya yang paling jelek dan bikin kepalanya pusing. Hm ....Â
Ngopi Bareng Kompasianer dari Seluruh Indonesia
Hari merangkak sore, perut mulai keroncongan. Â Saya merapat ke lesehan beralaskan karpet hijau. Posisinya di sudut area kompasianival.Â
Di sana pihak penyelenggara menggelarkan snack beserta kopi dan teh hangat. Mereka menamakannya Kompasianer Zone. Ruang tersebut  sengaja dikondisikan sedemikian rupa, guna memjembatani  dialog sesama Kompasianer yang hadir. Oh, ya ada juga permainan, untuk bagi-bagi hadiah.
Sayangnya, saya dan Umi Sakdiyah terlambat datang. Sehingga tak tahu persis hal penting apa yang menjadi topik obrolan mereka.
Kami berdua memilih duduk di meja lain, menyantap sayur asin buatan ibunda Mas Reno. Dalam hati saya berencana, "Habis minum, saya ikut mengerubungi Pak Hanif."
Di sela itu, saya masih gencar menambah kenalan dengan menanyakan identitas siapa saja yang berada di sekeliling saya. Wajah mereka berbinar. Tanpa adanya sekat antara satu dengan lainnya. Entah dia seorang birokrat, dosen, atau profesional berilmu tinggi. Gelak tawa pun berderai-derai.
Pak Hanif mengehentikan langkahnya. "Oh, ya. Â Mau difoto atau selfie?"