Z Â berkilah lupa, terus minta maaf. Â Dan berjanji besok dia akan mengantarnya. Dan bla bla ....Â
Ya sudah. Tak apa-apa. Saya memaafkannya dan berpikir, buku dapat dibeli. Pergaulan dengan keluarganya tak dapat dibayar dengan apa pun. Di sisi lain, saya sangat mengharapkan buku itu kembali.
Seminggu kemudian, momen yang ditunggu itu datang. Bu Guru cantik itu hadir.  Sebuah  buku tergenggam di tangannya.
Saya berpikir, manusia  ini pantas disebut munafik. Kerena tanda-tanda itu telah melekat padanya?
Dari Abu Hurairah, Bahwa Nabi SAW bersabda, Tanda-tanda orang munafik ada 3. Jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia ingkar, dan jika diberi kepercayaan,  dia berkhianat. (HR. Al-Buchari)
Untung saya  mampu mengendalikan emosi. Berusaha tersenyum saat mendengar  dia berargumen. Alhamdulilah, setan marah gagal menguasai saya.Â
Setelah kejadian itu  saya kapok.  Lebih baik menerima hujatan pelit, medit atau apapun jenisnya, daripada memberipinjamkan buku kepada orang lain. Kalau ada yang minta pinjam, sambil senyum-senyum manis saya bilang, "Dicopy aja ya! Biar Nenek yang bayar."
Siapa yang berani menjawab "ya", coba!
Pengalaman ini patut menjadi renungan kita bersama. Jangan sekali-kali menganggap buku pinjaman sebagai barang tak berharga. Karena bagi sebagian orang, (begitu juga saya),  benda ini termasuk dokumen  pribadi penting yang harus dipelihara. Â
Melenyapkan dokumen sekecil apapun sama  dengan mengaburkan sejarah. Setelah saya meninggal nanti, anak cucu saya tidak akan tahu detail latarbelakang neneknya ini tanpa adanya bukti sejarah.