Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meminjam Buku Bukan Haram, Asal Peminjamnya Tidak Munafik

19 Oktober 2018   21:39 Diperbarui: 21 Oktober 2018   02:42 1281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meminjam buku adalah tradisi umum di kalangan masyarakat Indonesia yang berlaku dari zaman ke zaman. Itu sah-sah saja. Agama tidak mengharamkan saling meminjam. Sebab, manusia itu tak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. 

Sayangnya, dalam urusan ini tanpa sadar kita sering  melakukan kesalahan yang dianggap sepele, membuat pemilik buku jengkel akut. Umpamnya:

Buku  Dikembalikan dalam Kondisi Rusak

Pernahkah anda mengalami? Setelah dikasih pinjam, buku kembali dalam keadaan rusak.  Misalnya (a) lembaran isinya digarisbawahi pada bagian-bagian tertentu pakai spidol, sampai tembus ke helaian belakang. (b) beberapa sudut dan halamannya dilipat mati. Tak bisa hilang meskipun digosok pakai seterika. (c) dicoret-coret oleh anak kecil.  (d) kovernya  kotor atau basah, copot, dan lain sebagainya. 

Sungguh ini orang tidak tahu aturan. Sudah jelas buku pinjaman dia anggap milik sendiri.

Buku Pergi Tak Pernah Kembali               

Dalam masalah ini, beberapa kali saya punya pengalaman buruk. Satu darinya, tahun 2010 saya ditandangi oleh Z  putri mantan tetangga, untuk suatu keperluan. Sebelum pamit pulang dia  melihat sebuah buku tergelatak di meja tamu. Spontan dia minta pinjam.

Pertama saya agak keberatan. Sebab, buku itu suami yang beli. Saat itu beliau sedang tidak di rumah. Mengingat hubungan saya dan orangtua Z seperti keluarga sendiri, berat rasanya untuk menolak.

Sebelum dia pergi saya berpesan. "Habis dibaca dibalikin ya. Ini buku baru dibeli abangmu. Beliau belum sempat membacanya." Ibu muda itu mengiyakan.

Suami saya memang punya hobi aneh. Senang membeli dan mengoleksi buku, kurang doyan membaca. Alasannya kepuasan dia melihat isterinya membaca,  buku pembeliannya sendiri.

Seminggu dua minggu ditunggu, tiada tanda-tanda buku itu akan dipulangkan. Padahal, saban hari Z pergi mengajar lewat di depan rumah saya. Sebulan kemudian, saya putuskan untuk menagih. 

Z  berkilah lupa, terus minta maaf.  Dan berjanji besok dia akan mengantarnya. Dan bla bla .... 

Ya sudah. Tak apa-apa. Saya memaafkannya dan berpikir, buku dapat dibeli. Pergaulan dengan keluarganya tak dapat dibayar dengan apa pun. Di sisi lain, saya sangat mengharapkan buku itu kembali.

Seminggu kemudian, momen yang ditunggu itu datang. Bu Guru cantik itu hadir.  Sebuah  buku tergenggam di tangannya.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Ternyata  bukan milik saya. Tetapi buku Gerakan 30 September.  Katanya yang kemarin itu hilang. Waduh, seribu judul dan sejuta eksemplar pun dia mengganti, saya tidak menginginkannya. Yang saya punya, buku motivator. Karena masih baru, judulnya pun belum saya hafal. 

Saya berpikir, manusia  ini pantas disebut munafik. Kerena tanda-tanda itu telah melekat padanya?

Dari Abu Hurairah, Bahwa Nabi SAW bersabda, Tanda-tanda orang munafik ada 3. Jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia ingkar, dan jika diberi kepercayaan,  dia berkhianat.  (HR. Al-Buchari)

Untung saya  mampu mengendalikan emosi. Berusaha tersenyum saat mendengar  dia berargumen. Alhamdulilah, setan marah gagal menguasai saya. 

Setelah kejadian itu  saya kapok.  Lebih baik menerima hujatan pelit, medit atau apapun jenisnya, daripada memberipinjamkan buku kepada orang lain. Kalau ada yang minta pinjam, sambil senyum-senyum manis saya bilang, "Dicopy aja ya! Biar Nenek yang bayar."

Siapa yang berani menjawab "ya", coba!

Pengalaman ini patut menjadi renungan kita bersama. Jangan sekali-kali menganggap buku pinjaman sebagai barang tak berharga. Karena bagi sebagian orang, (begitu juga saya),  benda ini termasuk dokumen  pribadi penting yang harus dipelihara.  

Melenyapkan dokumen sekecil apapun sama  dengan mengaburkan sejarah. Setelah saya meninggal nanti, anak cucu saya tidak akan tahu detail latarbelakang neneknya ini tanpa adanya bukti sejarah.

Saya ingin berbagi kisah lain. Tahun 2016, saya kehilangan Blackberry. Karena dikasih menantu HP Samsung, si hitam itu saya museumkan di lemari buku tidak terkunci. Untuk apa dikunci. Toh, penghuni rumah hanya saya dan suami.

Suatu hari saya menulis, dan memerlukan foto untuk merangsang pikiran. Ternyata BB tersebut sudah raib dari persemayamannya. Semua isi lemari buku,  lemari pakaian, sampai lemari piring, sudah saya bongkar semua. Barang yang dicari tidak pernah ketemu. Saya panik. Banyak foto penting semasa saya di Inggris dulu terkoleksi di sana.

Dua bulan sebelumnya kami memang dapat kunjungan dari  keluarga. Anggota pasukannya lumayan rame. Siapa yang akan dituduh.

Peristiwa tersebut berlalu hampir 3 tahun. Tetapi, bila teringat BB tersebut saya masih juga kesal, dan merasa dizdolimi. Terlebih dikala butuh foto untuk mendukung tulisan yang berkaitan dengan kunjungan ke Inggris dahulu.  Intinya,  menurut saya kehilangan dokumen prbadi lebih menyakitkan  daripada kehilangan uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun