Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Begini Cara Masyarakat Inggris Mengelola Barang Bekas

17 Oktober 2018   23:14 Diperbarui: 18 Oktober 2018   15:32 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu tradisi masyarakat Inggris adalah membuang barang-barang miliknya dan menggantinya dengan yang baru. Padahal masih layak pakai. 

Barang-barang bekas tersebut mereka sumbangkan ke badan-badan amal, untuk dijualnya kembali via Charity Shop (toko amal). Hasilnya digunakan sepenuhnya untuk membiayai gerakan riset/kemanusiaan di dalam dan luar negeri yang membutuhkan. 

Misalnya Negara yang dilanda kekeringan, peperangan atau kurang gizi, dan lain-lain sebagainya. Hebat. Tindakan yang patut dicontoh.

Charity Shop adalah perpanjangan tangan dari ratusan badan amal yang ada di seluruh Inggris. Jumlahnya ribuan dan tersebar di seluruh Inggris. Mahasiswa Indonesia di sana  biasa menyebutnya toko charity.

Kotak Charity. Foto kiriman Arie
Kotak Charity. Foto kiriman Arie
 Sembilan puluh lima persen barang yang dijualnya second hand. Tapi masih bagus dan layak pakai. Lima persen lainnya kondisi baru dari kelebihan stok. Ada juga sumbangan dari pengusaha bangkrut.

Toko Charity menjadi salah satu pilihan bagi wisatawan asing, untuk berburu barang murah dan bermutu buat oleh-oleh. Mirip toko BJ di Jambi.

Lalu bagaimana prosedur penyalurannya?

Pertama, donatur megantarkan benda yang dianggapnya nyampah tadi ke toko charity. Perabot, dibawa ke charity perabot. Pakaian ke charity pakaian, dan seterusnya.

Dalam hal ini terjadi hubungan saling menguntungkan. Pihak toko mendapatkan barang. Penyumbang terbantu menangani limbah. Dan para pembeli memperoleh barang dengan harga murah. Yang paling beruntung, penerima sumbangan yang membutuhkan. Baik perorangan maupun kelompok. 

Ke dua, penyumbang menaruhnya ke dalam charitybox, yang tersedia di pinggir-pinggir jalan. Dalam jangka waktu tertentu, relawan akan datang menjemput dan mengantarkannya ke toko charity. Tentu saja kotak berukuran kurang lebih 2,00 m3 ini tidak mampu menampung barang-barang besar seperti kulkas, jok, kasur dan perabot besar lainnya.

Tak ada pilihan. Limbah tersebut dibiarkan tergeletak di halaman, menjelang relawan memungutnya. Petugas persampahan tidak akan mau mengangkutnya ke Tempat Pengolahan Akhir. Kecuali limbah rumah tangga yang ada di tong-tong  sampah.

Khusus pakaian, sebelum dijual, dicuci dan diseterika sampai licin oleh relawan tanpa dibayar. Patut diancungi jempol, penduduk Inggris yang mayoritas non Muslim, memiliki budaya amal dan rasa ingin berbagi nomor wahid. Tak salah rakyat negeri Ratu Elizabeth ini didaulat sebagai bangsa yang memiliki kepedulian tertinggi di dunia.

Pertama memasuki wilayah Selly Oak Birmingham, saya terpana melihat barang-barang terkapar di halaman beberapa  rumah penduduk. Ada furniture, prangkat elektronik, buku, perabot dapur, sampai ke sepeda.

Benda-benda itu dikeluarkan pemiliknya dari rumah dalam rangka bersih-bersih. Ada pula masyarakat umum dan mahasiswa yang pindah kontrakan ke lain tempat. Atau mahasiswa dari dalam dan luar negeri yang telah menyelesaikan kuliah, akan kembali ke daerah atau negara  asalnya.

Di Inggris, urusan menyewa rumah terbilang rumit. Klien diwajibkan membayar deposit. Setelah kontrakan berakhir, rumah harus dikembalikan seperti semula. Jika ada bagiannya yang rusak, tuan rumah tak segan-segan memotong uang jaminan tadi. Sesuai nilai kerugian yang mereka derita.

Aturan lainnya, penyewa tidak  diperkenankan meninggalkan material sekecil apa pun. Kecuali inventaris rumah. Seperti kulkas, kompor, macrowive, dan lain sebagainya.

Biasanya, mahasiswa asal Indonesia yang mau pulang, mewarisi barangnya  kepada rekan mahasiswa  senegara yang masih menyelesaikan kuliah di sana.

Onggokan barang bekas tersebut mencapai puncaknya pada bulan Juni. Dikala  itu masa peralihan dari penyewa lama ke penghuni baru. Khusus pakaian, bersamaan pula dengan peralihan musim semi (spring) yang relatif dingin, ke musim panas (summer). Sehingga pakaian winter tidak dibutuhkan lagi.

Sayangnya tidak ada pemulung. Semasa tinggal di Sally Oak, saya tidak menemui satu pemulung pun. Selain tetangga asal Gambia bernama Alin. Setiap bulan Juni, dia sengaja meliburkan diri dari pekerjaan tetapnya untuk memulung. 

Perolehannya dia lego kepada tangan ke-dua, untuk dijualkan kembali ke pasar-pasar Car Boot yang  terdapat di berbagai kota di Birmingham. 

Car Boot adalah pasar terbuka kayak bazar,  khusus menjual barang-barang bekas. Di sana harga-harga lebih murah ketimbang di toko charity.

Untuk diketahui, tidak semua orang Inggris mau mendonorkan barang yang tak diinginkannya kepada pihak mana pun. Dan tidak ada pula paksaan baginya untuk menyumbang. Masyarakat golongan ini, menjual sampah spesialnya tersebut langsung di pasar-pasar Car Boot.

Kembali ke cerita Alin. Pria berkulit redup tersebut mengaku meraup 4000-5000 poundsterling untuk sekali musim. Jika dirupiahkan kurang lebih antara 80-100 juta.

Apakah perbuatan Alin ini dilarang Undang-Undang? Tidak sama sekali. Siapa saja boleh mengambil kalau butuh. Termasuk imigran dari luar negeri. Bahkan penduduk setempat pun tanpa gengsi ikut memungut barang yang diinginkannya. Sekadar kebutuhan. Bukan memulung untuk dijual.

Tak jarang Alin sengaja mendatangi kontrakan mahasiswa, menanyakan barang yang hendak dibuang. "Kadangkala yang didatangi membuka langsung baju atau jaket yang sedang dikenakinya. 

Terus menyerahkan sekalian isi kantongnya (uang). Biasanya yang melakukan itu mahasiswa asal China," cerita Alin kepada putra saya.

Jika,  mahasiswa asal Indonesia membutuhkan meja belajar lengkap dengan kursi putarnya, atau lemari pakaian dari kayu, tak perlu dibeli.  Untuk apa mengeluarkan uang jutaan rupiah. 

Sementara benda itu tergeletak tinggal nyeret. Tak ada yang melarang. Malah empunya berterima kasih karena merasa terbantu mengurangi sampah.

Seorang mahasiswa asal Indonesia mengaku,  ia pernah memiliki televisi sampai enam unit. Semua hasil nyeret. He heh. Benar-benar gila, "Ya. Minimal untuk diutak atik, buat memperdalam ilmu," komentarnya.

Nah, cucu-cucu dan anak-anakku tercinta. Ini dulu cerita Nenek ya. Besok disambung lagi.  Oh, ya. Kondisi ini berlaku tahun 2015. Terima kasih. 

****

Referensi: rosimeilani.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun