Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Keelokan Perkebunan Teh Kayu Aro Tak akan Pudar Tersebab Kopi yang Merana

29 Agustus 2018   10:46 Diperbarui: 30 Agustus 2018   13:42 2367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Dasar bocah. Keluar dari mobil, cucu saya Razita dan Ridho langsung naik ayunan, main jungkit-jungkitan dan semua peralatan yang ada disana mereka utak-atik. Sehingga lupa pada agenda semula. Yakni mengenal daun teh lebih dekat. 

Betapa keduanya kaget, setelah mengetahui teh hitam yang mereka minum selama ini berasal dari tumbuhan berwarna hijau.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Setelah makan siang, kami menelusuri kolam alias danau buatan, sekalian berfoto selfie. Ada kemajuan dari tahun-tahun sebelumnya. Di tengah danau telah dibangun jembatan penyeberangan dan dermaga. Tersedia pula sepeda air sewaan. Si cantik  dan si ganteng  merengek minta naik. 

Awalnya saya menolak keinginan mereka. Takut terjadi apa-apa. Tetapi karena ayahnya sendiri yang membonceng,  ya, sudah. Saya merasa yakin. Katanya melengkapi liburan dengan wisata air. Hanya mengeluarkan selembar dua puluh ribuan, mereka bebas menjelajahi sudut-sudut danau menggunakan perahu angsa.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Puas berfoto di pinggir kolam, saya berpindah ke lain lokasi. Pilih punya pilih, pengennya berpose di plang merek Aroma Pecco. Ah, temboknya penuh coretan yang  mengganggu pemandangan. Ada pula emak-emak lagi bergosip, duduknya kurang sopan. Daripada momen ini lewat tanpa dokumen, dijepret saja apa adanya.

Jarum jam menunjukkan pukul 12.30 siang. Kami bersiap-siap untuk pulang. Sebenarnya masih banyak objek yang patut disinggahi, Leter W, Air Terjun Telun Berasap dan lain sebagainya.  Mengingat terdesak waktu shalat Zuhur, dan di antara travellers ada cucu yang masih bayi. Terlalu lama terpapar suhu dingin, takutnya masuk angin. 

Kendaraan bergerak meninggalkan Aroma Pecco. Melalui kaca mobil  saya mengamati  tanaman teh di kiri kanan jalan. Saat itu saya menyadari, ada keganjilan di area-area tertentu.  Pohon teh banyak yang tidak terawat. Di antaranya sudah disesaki oleh tumbuhan pengganggu, bahkan pucuk tehnya nyaris tenggelam ditelan gulma. Tidak hanya itu. Sampai di jalan utama, mata saya terbelalak ketika melihat sebidang  tanaman kopi arabika. Tak kurang dari satu hektar. Keberadaannya  di tengah lahan tanaman teh. Kondisinya memprihatinkan. Semak, kerdil, dan merana.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Ketika saya sibuk mengambil gambarnya, tiba-tiba seorang kakek menghampir. Katanya mau ngarit untuk pakan ternak. Dari beliau saya memperoleh sekelumit cerita. Rupanya sama seperti teh,  tanaman kopi tersebut milik PTPN VI. "Ratusan hektar ini, Buk. Di lahan-lahan  berbeda. Semuanya gagal total. Kabarnya mau dicabut dan kembali ke tanaman teh," kata pria yang tidak mau dipotret tersebut. "Pekerjanya banyak berhenti, perusahaan merugi," tambahnya.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Beberapa tahun belakangan, memang pernah saya membaca berita di salah satu media onlene, bahwa PTPN VI  Kayu Aro terus merugi. Saya berpikir sejenak. Mungkin upaya mengganti ratusan hektar tanaman teh dengan kopi  ini, salah satu kiat pengelolanya berinovasi  agar bisa keluar dari ketekoran. (Mudah-mudahan dugaan saya tidak meleset. Tetapi saya tidak membahas masalah ini karena bukan kapasitas saya).

Cerita si kakek menjawab keheranan saya yang lain. Mengapa pemandangan pinggir jalan utama  di tengah perkebunan  tidak secantik dulu lagi. Seperti  saat saya berkunjung  tahun 2007 dan 2008. Tanaman hias di kiri kanan jalan nyaris musnah, diganti oleh tumbuhan rumput pengganggu. Yang tersisa hanya serumpun dua bunga  tasbih merah yang tumbuh liar.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Melanjutkan jalan pulang, saya mengajak sopir yang notabene anak bungsu saya, untuk tidak melewati jalan utama. Tetapi melalui lintasan melilit yang biasa ditempuh truk pengangkut hasil panen teh. Tujuan saya, supaya dapat melihat kondisi perkebunan lebih jauh ke dalam, sekalian mencari tempat berfoto selfie dengan latar yang lebih bagus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun