Perkebunan teh Kayu Aro adalah destinasi agrowisata terfavorit dalam Kabupaten Kerinci. Posisinya di kaki Gunung Kerinci bagian selatan. Tepatnya di ujung terbarat Provinsi Jambi, 1400-1600 meter dari permukaan laut. Dan merupakan kebun teh tertinggi kedua di dunia setelah Darjeeling di kaki Gunung Himalaya, yang berketinggian 4000 mdpl, (LIONMAG).
Kira-kira empat puluh menit naik motor atau mobil dari Bandara Depati Parbo Hiang arah ke Padang atau 40 km dari pusat kota Sungai Penuh. Tanpa keluar dari mobil pun pelancong akan bebas menikmati panorama alamnya nan cantik. Tak heran, setiap akhir pekan dan hari libur, objek wisata ini tak pernah sepi pengunjung. Baik wisatawan lokal maupun manca negara.
Wisatawan dari luar daerah atau manca negara yang ingin menghirup udara malam di perkebunan teh, jangan khawatir. Di sana terdapat beberapa home stay dengan tarif terjangkau, (berkisar 150-300 rb per malam). Tergantung  fasilitas.
Tentang keelokan alamnya, sejarah kejayaan  teh Indonesia, suka duka para pekerjanya. Dan seribu satu kisah menarik lainnya sebagai oleh-oleh buat orang-orang tercinta. Bagi saya tentu saja untuk sahabat, anak-anak dan para cucu penghuni rumah mewah kompasiana.
Siang itu cuaca amat cerah. Gunung Kerinci yang tak pernah enggan menampakkan kemolekannya berdiri megah di depan mata. Tanpa mendaki pun saya terbawa angan,  menyaksikan kondisi realnya di puncak gunung yang berketinggian 3.805 di atas permukaan laut itu. Wajar, julukan "Sekepal Tanah dari Syurga" disematkan pada bumi  Sakti Alam Kerinci ini.  Â
Betapa keduanya kaget, setelah mengetahui teh hitam yang mereka minum selama ini berasal dari tumbuhan berwarna hijau.
Awalnya saya menolak keinginan mereka. Takut terjadi apa-apa. Tetapi karena ayahnya sendiri yang membonceng, Â ya, sudah. Saya merasa yakin. Katanya melengkapi liburan dengan wisata air. Hanya mengeluarkan selembar dua puluh ribuan, mereka bebas menjelajahi sudut-sudut danau menggunakan perahu angsa.
Jarum jam menunjukkan pukul 12.30 siang. Kami bersiap-siap untuk pulang. Sebenarnya masih banyak objek yang patut disinggahi, Leter W, Air Terjun Telun Berasap dan lain sebagainya. Â Mengingat terdesak waktu shalat Zuhur, dan di antara travellers ada cucu yang masih bayi. Terlalu lama terpapar suhu dingin, takutnya masuk angin.Â
Kendaraan bergerak meninggalkan Aroma Pecco. Melalui kaca mobil  saya mengamati  tanaman teh di kiri kanan jalan. Saat itu saya menyadari, ada keganjilan di area-area tertentu.  Pohon teh banyak yang tidak terawat. Di antaranya sudah disesaki oleh tumbuhan pengganggu, bahkan pucuk tehnya nyaris tenggelam ditelan gulma. Tidak hanya itu. Sampai di jalan utama, mata saya terbelalak ketika melihat sebidang  tanaman kopi arabika. Tak kurang dari satu hektar. Keberadaannya  di tengah lahan tanaman teh. Kondisinya memprihatinkan. Semak, kerdil, dan merana.
Cerita si kakek menjawab keheranan saya yang lain. Mengapa pemandangan pinggir jalan utama  di tengah perkebunan  tidak secantik dulu lagi. Seperti  saat saya berkunjung  tahun 2007 dan 2008. Tanaman hias di kiri kanan jalan nyaris musnah, diganti oleh tumbuhan rumput pengganggu. Yang tersisa hanya serumpun dua bunga  tasbih merah yang tumbuh liar.
Apa yang dikatakan kakek tukang rumput  barusan benar. Jarak beberapa hektar tanaman teh, bertemu sekelompok lahan yang ditanami kopi arabika. Kondisinya kayak yang tadi. Kurus kerdil, di tengah gulma, hidup segan mati tak mau. Begitulah seterusnya berkilo-kilo meter sampai penjelajahan kami tembus ke jalan utama.
Petualangan sehari bersama anak, menantu dan  cucu berakhir dengan mengantongi dua cerita berbeda. Tentang kebun teh yang molek jelita dan tanaman kopi yang merana.
***
Simpang Empat Danau Kerinci, 29082018
Nenek 4R
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H