Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nenek Alay dan Kakek Lebay

23 Desember 2017   15:12 Diperbarui: 23 Desember 2017   18:37 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari terakhir kunjungan saya di kota X, masih ada agenda yang belum ter-eksekusi. Silaturrahmi ke di kediaman kenalan satu kampung. Semula agak enggan, mengingat udara kota kecil itu hangat dan pengap bagi saya yang berasal dari daerah Kaki Gunung. Pikir punya pikir, kalau tidak sekarang kapan lagi. Mumpung masih di sini dan bisa bernafas. Sekalian minta maaf dan saling menghalalkan. Maklum tiga  tahun di rantau ini, kami sering bersama bahkan sudah seperti keluarga sendiri.

Begitu sampai di sana, Alhamdulillah. Nyonya rumah menyambut saya dengan hangat. Senyumnya masih semanis tiga puluh sembilan tahun lalu. Walau bekas goresan steno sudah bersileweran di setiap mili wajahnya.  Lingkungan dan bangunan masih asli. Yang berubah stuasinya. Rumah yang dulunya ramai oleh tangisan dan senda gurau anak kecil itu, kini sepi bak tanpa penghuni.

Saya bertanya, "Anak-anak pada ke mana, Bu?"

"Semua sudah bekeluarga dan bekerja. Si Ana di Jakarta. Jadi menejer di sebuah perusahaan milik Asing.  Si Anu di Pekan Baru. Buka perusahaan bekerja sama dengan bule. Dah punya hotel di beberapa kota.  Si Ani bungsu juga di Jakarta. Alhamdulillah juga berhasil. Punya Ruko di kawasan Pondok Cabe senilai 40 M."

Saya berdecak kagum. "Hebat. Anak Ibu memang pantas jadi orang. Soalnya mereka semuanya cantik-cantik. Punya anak cantik itu setengah kaya. Pastinya tak sembarangan orang yang berani melamar."

Janda mantan karyawan perusahaan milik asing itu tersenyum puas.

"Lalu yang cowok dua dulu ke mana?"

Tiba-tiba anak cowoknya nomor 2 nyelonong dari ruang belakang. Saya tidak terlalu kaget melihat perubahan wajahnya. Saya sendiri sudah jadi kakek. Pantaslah dia seperti bapak. Kami saling mengulurkan tangan. Dia menatap sambil mengerutkan kening.

"Abang yang di Sari Repatri Karya dulu." kata si ibu menjawab kebingungannya.

"Oh, saya ingat. Dari Kampung kan?" ujarnya.

"Ya." Saya mengangguk.   

Spontan Bapak tiga anak itu menyemprot. "Manusia, udah dibantu, bila telah berhasil semuanya sombong. Sekarang saya sudah bilang ke Ibu. Kalau ada tamu dari kampung, suruh nginap di hotel makan di restoran saja. Siapapun orangnya."

"Betul. Saya sudah jenuh dengan hal begitu. Semasa kami tinggal di Jakarta dulu, bapak saya adalah satu-satunya yang sabar menampung tamu dari mana-mana. Mulai dari numpang tidur, makan, berak sampai ke air mandi, beliau yang nanggung. Setelah kaya dan berkembang, eh ..., mereka pura-pura tidak kenal." Saya mengiyakan. Lantas berpikir, mungkin orang ini menduga saya akan numpang nginap.

Dua menit kemudian muncul pula si sulung dari beranda depan. Guratnya beda tipis setua saya. Tapi saya masih ingat dia.

"Siapa ini, Bu?"

Saya menyela, "Masak lupa. Kamu sering minta duit ke saya dulu."

"Itu, abang yang kerja di dok dulu," potong ibunya.

Bapak lima anak itu menatap saya, menyalami penuh akrab sembari tertawa.  "Oh ..., ya. Saya ingat," katanya. Dia melesat ke belakang. Disusul nyonya rumah.

Tak lama kemudian nenek bertubuh kurus itu  keluar membawa secangkir teh terus menghidangnya di meja. Si sulung menyusul dengan segelas susu panas untuk dia sendiri.

Obrolan berlanjut. Temanya berkisar tentang keberhasilan tiga putrinya di bidang karier dan materi. Saya melayani semau dia. Sehingga topik yang sudah tuntas dibahas  dia nyiyiri berulang-ulang. Sesekali  saya bertanya seputar kehidupan anak lelakinya tadi. Ternyata keduanya masih tinggal bersama orangtua. Yang satu memboyong isteri dan tiga anaknya,  si sulung raganya sendiri. Konon putra-putrinya (si sulung) sudah sarjana semua dan bekerja di kampung mamahnya tanah Jawa. 

"Sekarang kamu  kerja di mana?" tanya nenek tujuh puluh tahun tersebut ke saya.

"Selepas dari sini dulu, saya dan isteri  kuliah. Terus kami berdua ngajar di SMP. Sekarang dah pensiun."

"Oh ..., guru? Anak saya tak ada yang mau jadi guru. Gajinya kecil." Manula bergigi palsu itu menjentik ujung kelingkingnya.

Saya tersenyum tipis. Agak minder juga. Mau protes, tak ada bahan. Bagaimanapun status saya tamu tak diundang.

"Ibu dapat pensiunkah dari perusahaan tempat bapak bekerja dulu?" saya balik nanya.

"Tidak. Dulunya cuman dikasih pesangon. Jumlahnya lumayan gede. Dengan uang itu saya bisa naik haji. Kamu? dibayar tiap bulan ya?"

"Namanya pensiun, ya dibayar perbulan, Bu."

"Sebulannya berapa?

"Cukup berarti bagi kami. Gaji saya dan isteri kira-kira segini." Saya menegakkan beberapa jari tangan kepadanya.

"Sudah haji?" tanyanya lagi.

"Dah dua kali. Sekarang telah didaftarkan sama anak untuk berangkat haji plus tahun depan."

Perempuan renta tersebut mulai agak ngeper. Dia membelot pembicaraan. "Ini Mobil milik si Ana. yang satunya punya Si Anu." Dia menunjuk ke gerasi. Di sana terparkir sebuah sedan entah merek apa saya kurang fokus. Kondisinya sudah gaek. Yang lainnya satu unit avanza tipe G warna hitam.

Saya tanyakan, "Ini mobil tahun berapa?"

"2003."

"Punya saya juga hitam, keluaran 2014. Baru ganti. Dulunya model 2010. Bosan itu ke itu saja." Mantap lidah saya membangga.

"Oh, ya. Kalian punya anak berapa?" Omongan nenek berkaca mata itu mulai menjinak.

"Dua. Satu di Indonesia perempuan. Lulusan S2 Australi. Derektur salah satu perusahaan swasta di kota Palembang. Satu lagi Laki-laki.  Tinggal dan kerja di Eropah. Megang jabatan penting juga di perusahaan ternama. Baru saja saya dan isteri pulang dari sana. Mereka membawa kami jalan-jalan sampai ke Amerika.

"Berarti pintar bahasa asing."

"Iya. Dia, anak dan isterinya cakap harian bahasa Inggris."

"Oh ya, Bahasa Inggris memang penting. Anak Saya yang di Pekan Baru itu juga lancar Inggrisnya. Makanya dia bisa buka usaha. Bekerja sama dengan bule.  Si Bungsu Ani juga begitu. Bisnisnya inpor ekspor. Pena yang dipakai Presiden Jokowi dan menteri-menterinya itu  dibeli ke dia. Harganya 5 M per biji.

"Maaak ...!" kejang perut saya menahan tawa. Astaghfirullah. Gara-gara tak mau kalah, saya  terperangkap dalam kesombongan dan kebohongan yang berlipat ganda.

Sampai di kampung, saya ceritakan peristiwa ini ke cucu dan isteri. Mereka tertawa terkekeh-kekeh. Bersamaan mereka berujar, " Neneknya lebay,   kakeknya alay."

***

Sumber: curhat suami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun