Kalimat ini juga sering diulang-ulang dalam pengumuman lisan (public address) di stasiun atau di dalam kereta.
Nah lho? Padahal saya cuma naik 1 kereta. Kenapa pula ada 10 kereta? Dulu saya heran betul perihal ini.
Ternyata, jika baca regulasinya, istilah "rangkaian" mengacu pada apa yang biasanya kita sebut sebagai "kereta".
Belum lagi, dalam pengumuman di kereta, penumpang kereta tidak dibahasakan sebagai "penumpang" tapi disebut "pelanggan" atau "pengguna jasa".
Untuk istilah yang terakhir ini, barangkali untuk lebih menggambarkan hubungan transaksional antara PT KCJ/KAI dan para pengguna jasanya, alih-alih menggunakan kata "penumpang" yang ambigu dan berpotensi multitafsir, sebab bisa diinterpretasikan sebagai "menumpang dengan tanpa bayaran".Â
Untuk lebih detailnya, silakan cek lema atau entri "tumpang" atau "penumpang" dalam KBBI.
Singkatnya, jika dibuat daftar istilahnya atau glosarium, glosarium perkeretaapian versi regulasi ini berbeda dengan versi KBBI dan versi pemahaman masyarakat umum.
Kereta = gerbong.
Gerbong= hanya untuk angkutan barang dan hewan.
Rangkaian= kereta.
Penumpang = pelanggan atau pengguna jasa.
Dari sisi perbedaan pemahaman bahasa Indonesia versi kamus dan versi regulasi saja sudah menarik, apalagi jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Nah, itulah bagian atau sisi menarik dari penerjemahan teks hukum terkait peraturan atau regulasi pemerintah. Sebab kalangan birokrat atau pemerintah terkadang punya khazanah kosakata atau istilah tersendiri yang punya pengertian berbeda dari makna leksikal (baca: versi kamus) dan apa yang biasanya dipahami masyarakat atau publik secara umum.
Dan di situlah penerjemah (translator) atau juru bahasa (interpreter) berperan sebagai jembatan penghubung, dan bukan sebagai tembok pemisah.