Konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat di Minangkabau (Sumatera Barat) tentang kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat saat itu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam (judi sabung ayam dan minum tuak) pada akhirnya menyeret keterlibatan Belanda (yang awalnya dimintai bantuan oleh Kaum Adat untuk mengalahkan Kaum Padri) sehingga kemudian berubah menjadi Perang Padri (1803-1837), yang disebut juga Perang Minangkabau, yang tercatat dalam Encyclopaedia Britannica.
Perang Padri sendiri menghasilkan beberapa perjanjian, antara lain Perjanjian Masang dan Perjanjian Plakat Panjang, yang secara licik dilanggar oleh kolonialis Belanda.Â
Namun pada akhirnya, selepas Perang Padri, muncul kesepakatan antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang menelurkan jargon budaya Minang yang langgeng hingga kini yakni "adat basandi syara, syara basandi kitabullah". Adat bersendikan atau berdasarkan syariat (Islam) dan syariat Islam bersendikan kitabullah (Al-Qur'an).
Dari sisi penamaan, berdasarkan aspek bahasa, boleh dibilang Perang Padri adalah perang salah nama, karena tidak valid dan tidak akurat menggambarkan afiliasi ideologis para tokoh Muslim (yang beragama Islam) yang terlibat dalam perang terbesar seantero Pulau Sumatera tersebut.
jika kelak ada revisi terhadap literatur sejarah, mungkin Perang Padri bisa berganti nama menjadi "Perang Ulama" atau "Perang Pendakwah".
Kata "padri" sendiri dalam KBBI sudah kembali pada pengertian asal yakni "pendeta Katolik", "pastor", dan "pendeta Kristen".
Alhasil kata itu bisa menyempit atau meluas maknanya antara lain tergantung perkembangan zaman, kehendak dan keberterimaan publik serta maksud pengguna.
Jakarta, 20 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H