Dan takdir Tuhan menerbangkanku lagi meninggalkan pinggiran Jakarta yang panas meranggas. Angin, sang sahabat setia, tak banyak berkata-kata. Ia hanya membawaku kemana-mana, tanpa banyak bincang.Â
Termasuk juga saat meninggalkanku di depan sebuah toko televisi di pusat kota Jakarta. Ada beberapa calon pembeli masuk melihat-lihat. Tampak sebuah pesawat televisi berukuran besar menyala. Rupanya sedang ada acara gelar wicara (talkshow).
"Bagaimana pendapat Anda tentang gerakan ekstremisme agama yang marak belakangan ini, Profesor?"
Demikian pertanyaan sang penyiar jelita kepada seorang bapak berkacamata yang tampaknya bijak.
"Fenomena gerakan ekstremisme agama ini bukan fenomena tunggal di Indonesia saja. Di belahan dunia lain pun ada, termasuk juga di Amerika Serikat. Ini fenomena global. Dan ekstremisme atau gerakan anti-moderasi beragama itu ada di semua agama. Senantiasa ada kutub-kutub ekstrem di setiap agama. Ini juga bagian dari dialektika peradaban antara kalangan puritan yang semata-mata hanya berpatokan pada tafsir tradisional kitab suci dan kalangan moderat yang juga memandang lebih luas lebih dari sekadar tafsir tersebut..."
" ... Wajar saja, sepanjang mereka tidak menempuh jalan kekerasan. Komitmen mereka pada sikap anti-kekerasan itulah yang akan menentukan seperti apa penilaian publik pada aspirasi mereka yang ramai mereka perjuangkan dengan militan," urai sang profesor dengan rentetan kata-kata mutakhir nan canggih dengan santun.
Aku tepekur mendengarnya. Juga aku sedih. Bukan karena terharu, tetapi karena tidak bisa memahami sebagian besar perkataan sang profesor bijak.
Andai aku punya kepala, mungkin aku akan pening memikirkannya. Untung saja Tuhan tak kasih aku kepala sehingga aku tak perlu pusing berpikir.
Tapi sejenak aku terhenyak.
Bukankah kaum ekstremis di mana pun itu punya kepala? Mengapa mereka tidak memikirkan apa yang dikatakan sang profesor bijak? Lantas buat apa mereka punya kepala jika tidak tahu apa fungsinya?
Ah, andai aku punya kepala, mungkin aku akan pening memikirkannya. Untung saja Tuhan tak kasih aku kepala sehingga aku tak perlu pusing berpikir. Toh, aku ini hanya butiran debu...