Â
Aku ini butiran debu yang tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Terbang melayang, bergantung pada hembusan angin yang membawaku ke mana-mana. Termasuk ke sebuah pesantren di pinggiran Jakarta seperti siang ini.
Ya, tepat siang ini. Aku menempel pada rambut seorang anak muda yang sibuk berorasi di tengah-tengah lingkaran besar. Beberapa pemuda lain yang kurang lebih sebaya duduk tepekur mendengarkan.
"Mereka sembarangan saja menyebut kita "oknum", Akhi. Oknum santri, oknum orang Islam. Juga menyebut pesantren kita pesantren abal-abal, pesantren radikal. Padahal kitalah pemurni ajaran Islam! Barisan kitalah yang nanti akan terpilih sebagai barisan yang masuk surga, bukan yang lain. KEMENAG itu tahu apa tentang ajaran Islam yang murni. Betul, Akhi?!"
Suaranya bergemuruh penuh amarah. Tangannya mengepal ke udara perlambang semangat muda, darah muda yang menggelegak.
"Betul. Shodaqta, Ustaz!" jawab para pemuda yang melingkarinya kompak.
Agitasi yang mereka sebut "taushiyah" itu terus berlanjut, terus dan terus. Kian lama kian membara. Api dan tombak berluncuran dari lisan tajamnya.
Aku tak kuasa menyimak rentetan kata-kata yang deras meluncur bagai air terjun. Hingga aku terhenyak saat seorang pemuda dari lingkaran menyelak bicara, "Jadi kita berjihad saja ya, Ustaz?!"
"Setuju. Angkat senjata, habisi mereka. Habisi mereka dan antek-anteknya. Habis perkara!" imbuh pemuda yang lain.
"Cincang mereka pade. Makdikipe!"
"Allahu Akbar!" pekik yang lain yang duduk di pojokan.