Di banyak daerah di Tanah Air bahkan kerap kali tawuran atau perkelahian pelajar atau antarkampung terjadi hanya karena saling bersirobok pandang.
Semestinya para pemimpin negeri inilah yang mengalami "overthinking"
Dan yang semestinya terserang "overthinking" atau lewah pikir adalah seharusnya para pemimpin negeri ini.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menyatakan bahwa jika ada seekor keledai mati kelaparan di tepi sungai Eufrat di Irak, yang termasuk wilayah imperium kekuasaannya saat itu yang membentang dari jazirah Arab Saudi hingga Somalia dan sebagian Afrika, maka itu adalah tanggung jawabnya yang akan dimintakan pertanggungannya di hari akhir.Â
Lantas bagaimana para pemimpin negeri tidak lewah pikir?
Bagaimana nasib para pemimpin negeri ini di tingkat lokal dan nasional di hari akhir nanti jika dimintai pertanggungjawabannya karena seorang Jiwo terpaksa memakan bayinya karena kelaparan akibat sulitnya ekonomi di bawah kepemimpinan mereka?Â
Orang waras saja banyak yang susah makan dan tak terurus negara. Apatah lagi orang gila.Â
Meskipun sebenarnya konstitusi negara mengamatkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Tentu maksudnya tidak dipelihara agar eksistensi kemiskinannya tetap abadi. Namun dientaskan, diangkat harkat dan martabat kehidupannya.
Jika para pemimpin itu selalu bilang sulit dan sulit, memang seperti itulah adanya. Jadi pemimpin memang semestinya tidak enak.Â
Leiden is lijden, memimpin adalah menderita, ujar Kyai Haji Agus Salim, menteri luar negeri pertama republik ini yang poliglot (fasih dalam) sembilan bahasa asing, yang semasa hidupnya tinggal di rumah kontrakan kecil dengan ketujuh anaknya di sebuah gang becek dan sempit di Jakarta.Â
Bukankah pemimpin sejatinya adalah orang yang paling dulu lapar dan paling akhir kenyang demi mendahulukan perut rakyatnya?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!