Apa kuncinya?Â
"Saya cuma orang bodoh, tidak lulus SD. Yang saya tahu saya bertanggung jawab atas anak-anak saya," jawab polos sang janda tua di hadapan wartawan.
Dalam skala yang berbeda, aku baru memahami makna perlakuan ibuku bertahun-tahun lalu.Â
Sewaktu SD, sejak mulai diajari mengetik (dengan mesin tik manual) dan menulis oleh kakak sulungku di kelas 3, aku keranjingan menulis apa saja. Puisi, cerpen, artikel sampai komik aku buat dalam sebuah buku tebal pemberian salah seorang tetanggaku, Mas Pendi.Â
Tetanggaku itu juga yang berjasa mendongengiku tentang kisah-kisah pewayangan mulai dari Bharatayudha, Ramayana sampai Makuta Rama. Termasuk memasok buku-buku pewayangan yang dikumpulkannya dari serial pewayangan di harian Berita Yudha yang diklipingnya sendiri. Legenda perjuangan para kesatria wayang itulah yang kerap menjadi inspirasi tulisan-tulisanku saat itu.Â
Jika sudah bergairah menulis, kadang sejak sepulang sekolah sampai larut malam. Terlebih lagi jika liburan sekolah. Biasanya ibuku akan segera menarik buku dan pena dari tanganku, jika demikian.
"Udah, tidur sono!" ujarnya tegas.Â
Ibuku seorang yang periang dan humoris. Tapi ia tegas dan disiplin. Barangkali bawaan tomboy semasa remaja.Â
Ketika sudah menikah pun, ibu sering menggantikan ayah memanjat pohon nangka untuk mengambil buahnya untuk dijual, atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang cukup maskulin lainnya.
Dulu aku sering kesal jika ibu sudah menarik buku dan pena dari tanganku.Â
Dulu aku bilang,"Ibu nggak ngerti sih!"Â