Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pigai, Raffi, dan Ilusi Keadilan Hakiki

28 Januari 2021   18:44 Diperbarui: 28 Januari 2021   19:39 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Natalius Pigai, mantan komisioner Komnas HAM/Foto: tempo.co

Pigai ternyata tidak kalah sakti dengan Raffi.

Natalius Pigai, demikian nama lengkap  tokoh pemuda Papua tersebut, berhasil menyeret pelaku pelecehan rasialisme terhadap dirinya ke jalur hukum. Kendati si pelaku, Ambroncius Nababan, adalah seorang politisi dari parpol pendukung koalisi pemerintah dan juga ketua kelompok (suka)relawan Jokowi, kepolisian Indonesia di bawah kepemimpinan kapolri baru Listyo Sigit Prabowo tetap menangkap mantan caleg DPR RI dapil Papua tersebut.

AN, demikian inisial si politisi Hanura tersebut, diringkus polisi setelah sebuah organisasi Papua melaporkannya terkait postingannya di medsos yang menyandingkan foto Pigai dan foto gorila hitam dan disertai kata-kata ejekan yang tidak patut. Hal itu terkait dengan adu argumennya dengan Pigai tentang kewajiban vaksinasi COVID-19 disertai ancaman pidana bagi seluruh warga negara Indonesia. 

Tentu sudah bisa ditebak di posisi siapa AN berpihak. Dan, sebagai mantan komisioner Komnas HAM, Pigai jelas menyayangkan kewajiban dan ancaman pidana tersebut dengan argumentasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai aktivis HAM, rekam jejak Pigai yang kerap bersikap kritis terhadap rezim penguasa, termasuk menyuarakan keadilan terhadap tragedi KM 50 yang menimpa Laskar FPI, tercatat baik dalam memori publik maupun pemberitaan media.

Ambroncius yang menyerang Pigai secara personal di Facebook (FB) sudah ditangkap, tinggal menunggu langkah tegas kepolisian untuk meringkus si guru besar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), Profesor Yusuf Leonard Henuk, yang juga melakukan pelecehan serupa di Twitter terhadap Pigai. Bahkan jauh lebih dahulu, yakni di awal Januari 2021. Saat itu YLH menyandingkan foto Pigai dengan foto monyet yang tengah bercermin.

"Pace @NataliusPigai2 beta mau suruh ko pergi ke cermin lalu coba bertanya pada diri ko:"Memangnya @NataliusPigai2 punya kapasitas di negeri ini?" Pasti ko berani buktikan ke @edo751945 & membantah pernyataan @ruhutsitompul yang tentu dapat dianggap salah," demikian cuitan si profesor yang dikutip VIVA News terkait adu argumentasi Natalius Pigai dengan Ruhut Sitompul, mantan anak buah SBY di Partai Demokrat yang menyeberang ke PDIP selepas berakhirnya masa jabatan kepresidenan SBY.

Dua lawan satu. Politisi dan guru besar mengeroyok seorang aktivis pemuda Papua. Entah apa yang ada di benak para pelaku pelecehan tersebut sehingga menyerang dengan jurus sekeji dan serendah itu. 

Jika mereka yang notabene berpendidikan tinggi, bahkan sekelas profesor, berlaku sedemikian kotor, bagaimana pula pendukung mereka akan diharapkan berlaku santun dan beradab? Bukankah jika pangkal galah bergeser sekian centimenter, ujung galah akan bergoyang sekian meter?

Laga tidak berimbang antara Pigai versus AN dan YLH tampaknya masih akan berjilid-jilid episodenya. Polisi mungkin sedang galau saat ini terkait duel para tokoh tersebut.

Di satu sisi, jika hanya AN yang diciduk, tentulah para politisi koleganya juga akan menuntut keadilan serupa terhadap YLH. Dan YLH, yang pernah viral terkait surat lamarannya untuk menjadi menteri kepada Jokowi, sudah tentu akan mengeluarkan jurus-jurus pengelakan.

Di sisi lain, jika AN dan YLH ditangkap, sudah barang tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap citra pemerintahan koalisi Jokowi saat ini. Sementara, jika para pelaku rasialis itu tidak dibekuk, Papua akan bergolak. Aksi pelecehan rasialis terhadap Pigai laksana bensin yang menyiram api separatisme yang tengah membesar di Papua selepas kematian seorang pendeta asli Papua di tangan oknum TNI dan bangkitnya gerilya Kelompok Kekerasan Bersenjata (KKB), sebutan baru pemerintah Jokowi untuk OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Di samping itu, citra ketegasan yang tengah dibangun sang kapolri baru akan ternoda. Pernyataan heroik Listyo Sigit Prabowo bahwa, di bawah kepemimpinannya, "hukum akan ditegakkan tanpa pandang bulu dan tidak lagi tajam ke bawah namun tumpul ke atas" akan terusik dan dipertanyakan publik.

Raffi Ahmad saat divaksin dan saat berpesta di pesta ultah Sean Gelael/Foto: tribunnews.com
Raffi Ahmad saat divaksin dan saat berpesta di pesta ultah Sean Gelael/Foto: tribunnews.com

Kita tinggalkan dulu sosok Pigai sebagai "tokoh sakti" representasi rakyat Papua yang berduel melawan tindak rasialis yang diwakili oleh AN dan YLH. Kita beralih pada sosok sakti lainnya, yang beberapa kali lolos dari jerat hukum, yakni Raffi. 

Raffi Ahmad, demikian nama lengkap sang aktor multi-talenta sekaligus Youtuber dan pebisnis tersebut. Meskipun kadar kesaktiannya belumlah sebanding dengan trio The Untouchables, yakni Deni Siregar, Abu Janda, dan Ade Armando, yang licin dan senantiasa lolos dari jerat hukum. 

Berdasarkan usia, jelas Raffi memang masih hijau dan kurang berpengalaman dibanding ketiga dedengkot pendengung (buzzer) kakap tersebut. Mungkin seiring waktu, selama masih dalam perguruan yang sama, niscaya Raffi akan semakin digjaya dan sakti mandraguna.

Ilusi keadilan hakiki

Nah, terkait penegakan hukum tanpa pandang bulu sebagaimana yang digaungkan Kapolri Sigit Prabowo, ingatan publik tentu masih hangat dengan viralnya kasus pelanggaran protokol kesehatan (prokes) COVID-19 yang diduga dilakukan Raffi Ahmad dan kawan-kawan (konon ada nama Ahok juga yang turut terseret) saat berpesta ulang tahun di rumah Sean Gelael (sang pebalap muda yang juga putera taipan Richardo Gelael) di kawasan Jakarta Selatan di awal 2021. 

Justru hanya selang beberapa hari setelah sang selebritas muda nan tajir itu mendapat kehormatan sebagai penerima vaksin COVID-19 pertama bersama Presiden Jokowi di Istana Merdeka. Kabarnya pemuda kaseup asal Bandung itu mewakili kalangan influencer (pemengaruh) yang memang diandalkan pemerintah dalam banyak promosi program pemerintah.

Seperti yang sudah diduga banyak kalangan, konon karena kedekatan Raffi dengan Jokowi terutama saat pilpres 2019 ketika Raffi turut aktif mengampanyekan pasangan Jokowi-Amin di kalangan artis dan pemuda milenial, kasus pelanggaran prokes tersebut disetop pihak kepolisian. 

Alasannya? Tidak ada bukti pelanggaran prokes, kendati acara ultah Sean Gelael itu tidak berizin dan banyak beredar foto di media massa dan medsos betapa para undangan tidak melakukan social distancing (jaga jarak) dan tidak bermasker.

Selain pihak penyelenggara pesta ultah tetap menerapkan prokes dan mengadakan tes usap (swab) antigen, menurut siaran pers Polda Metro Jaya, para tamu pesta juga berinisiatif datang sendiri, tidak diundang. 

Mendadak saya ingat tagline sebuah film horor lawas di awal 2000-an yang berbunyi: "Jelangkung, datang tak dijemput, pulang tak diantar".

Tapi tentu saja para undangan tamu pesta tersebut bukanlah makhluk halus, mereka jelas makhluk kasat mata seperti kita, manusia. Hanya saja trik dan intrik mereka saja yang sedemikian halusnya.

Sedemikian halusnya sehingga, jangankan diketemukan unsur pidana untuk menjeratnya, Satpol PP DKI Jakarta pun tidak dapat mengenakan denda administratif terhadap kerumunan tersebut. 

Hingga jangan dibayangkan kerumunan kalangan the haves Anak Jaksel tersebut akan kena denda lima puluh juta sebagaimana yang dikenakan terhadap kerumunan pesta pernikahan Habib Rizie Shihab yang mayoritas dihadiri kalangan proletar menengah ke bawah di kawasan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Tidak heran ada sebuah meme kreatif di medsos yang menyindir perbedaan perlakuan tersebut, yang berbunyi: "Virus corona kini bermutasi, dapat membedakan kerumunan orang kaya dan kerumunan orang biasa".

HRS saat ditahan polisi karena kasus kerumunan ilegal/Foto: Facebook.com
HRS saat ditahan polisi karena kasus kerumunan ilegal/Foto: Facebook.com

 Saat Raffi Ahmad dengan "kerumunan legal"-nya bebas melenggang dari jerat denda maupun jerat pidana, Habib Rizieq Shihab (HRS) dengan "kerumunan ilegal"-nya dijerat polisi dengan beraneka lapis: pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Pasal 216 KUHP. 

Pasal 160 memuat tentang penghasutan, Pasal 93 tentang pelanggaran kekarantinaan kesehatan yang menyebabkan kedaruratan kesehatan, serta Pasal 216 KUHP tentang upaya menghalangi petugas berwenang.

Di sinilah publik dihadapkan pada fakta betapa bagaimana pun hukum masih bisa mengendus bulu siapa di depannya. 

Jika penahanan HRS dilakukan di era kapolri sebelumnya, sang kapolri baru tentu harus bisa membuktikan bahwa di eranya betul-betul hukum bisa tegak, tidak hanya secara prosedural tetapi juga secara substansi, maknawi atau hakiki.

Jika tidak,  jargon dan pernyataan heroik yang dikemukakannya hanya akan dinilai sebatas "bertanam tebu di bibir" dan menjadikan tudingan ilusi keadilan hakiki yang ditawarkannya benar adanya dan terbukti sebatas tawaran PHP (Pemberi Harapan Palsu).

Namun kita pun memaklumi jika pun nanti sang kapolri baru tidak dapat memenuhi janji atau perkataannya sendiri. Ia bukan superman, ia hanya manusia biasa, yang bahkan punya atasan. Ia tidak sendiri, dan ia pun tidak berada dalam ruang hampa alam pemikirannya sendiri.

Selama ini toh kita sudah maklum akan fenomena dua narasi besar yang dimainkan sebagian kalangan yang mungkin diotaki the invisibles dari balik layar.

Pertama, narasi pelucutan dan pengerdilan. 

Pemerintah dan media kompak tidak lagi menyebut "Habib Rizieq Shihab" (HRS), tetapi Rizieq Shihab (RS) atau, yang terbaru, Muhammad Rizieq Shihab (MRS). Berbeda dengan penyebutan kepada Habib Lutfi bin Yahya, misalnya. Gelar "habib", bagaimanapun, punya pengaruh dan getaran kuat bagi kalangan akar rumput umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia.

Kedua, narasi pelabelan dan stigmatisasi. 

Insiden KM-50 jalan tol Cikampek yang berakhir dengan gugurnya enam anak muda anggota Laskar FPI yang mengawal rombongan HRS yang hendak mengisi pengajian di luar Jakarta jadi titik tolaknya. 

Dengan segala alibi dan bukti yang terkesan mengada-ada, FPI distigmatisasikan sebagai kelompok berbahaya, hingga berujung pada penetapan FPI sebagai organisasi terlarang, yang bahkan berani menyerang aparat kepolisian. Pesan itu diperkuat dengan kehadiran Pangdam Jaya di konferensi pers bersama petinggi Polri. 

Seakan-akan FPI adalah musuh negara yang kejahatannya setara dengan OPM Benny Wenda dan teroris MIT (Mujahidin Indonesia Timur) Ali Kalora, termasuk dirancang dalam draf revisi regulasi UU Pemilu agar para bekas anggota FPI tidak punya hak pilih dalam pemilu mendatang. Suatu hukuman keras yang bahkan tidak dijatuhkan kepada para eks-anggota PKI yang jelas-jelas melakukan pemberontakan yang merongrong Pancasila dan NKRI pada 1948 dan 1965.

Alhasil, segala usaha memberangus FPI telah dilegitimasi keabsahannya, tanpa peduli HAM atau nilai kemanusiaan.

Semua narasi tersebut ditopang dengan kekuatan buzzer di medsos dan laskar demonstran bayaran yang rame-rame menuntut penangkapan HRS.

Sekali pukul dua nyamuk kena. Dua kasus korupsi kakap, yakni kasus benih lobster dan kasus bansos covid yang dilakukan para menteri Jokowi (yang notabene kawan koalisi di kabinet) pertanda bobroknya manajemen rezim penguasa berusaha ditenggelamkan dengan kasus insiden di jalan tol tersebut yang bahkan ramai diberitakan media internasional dan menjadi perhatian kalangan diplomat antarbangsa.

Tapi janganlah dilupakan bahwa ada hukum besi semesta yang diungkapkan secara apik oleh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln yang dikenal sebagai pembela HAM dan penentang perbudakan: "You can fool all the people some of the time, and some of the people all the time, but you cannot fool all the people all the time."

"Kamu dapat membohongi semua orang untuk sementara waktu dan sebagian orang untuk sepanjang waktu, tetapi kamu tidak dapat membohongi semua orang sepanjang waktu, " demikianlah pesan Abe.

Sebuah pesan sakti yang sejatinya jauh lebih sakti daripada kekuatan para orang sakti, setidaknya yang dianggap sakti dan digjaya saat ini.

Jagakarsa, 28 Januari 2021

Referensi: [1] [2] [3] [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun