Jika tidak, Â jargon dan pernyataan heroik yang dikemukakannya hanya akan dinilai sebatas "bertanam tebu di bibir" dan menjadikan tudingan ilusi keadilan hakiki yang ditawarkannya benar adanya dan terbukti sebatas tawaran PHP (Pemberi Harapan Palsu).
Namun kita pun memaklumi jika pun nanti sang kapolri baru tidak dapat memenuhi janji atau perkataannya sendiri. Ia bukan superman, ia hanya manusia biasa, yang bahkan punya atasan. Ia tidak sendiri, dan ia pun tidak berada dalam ruang hampa alam pemikirannya sendiri.
Selama ini toh kita sudah maklum akan fenomena dua narasi besar yang dimainkan sebagian kalangan yang mungkin diotaki the invisibles dari balik layar.
Pertama, narasi pelucutan dan pengerdilan.Â
Pemerintah dan media kompak tidak lagi menyebut "Habib Rizieq Shihab" (HRS), tetapi Rizieq Shihab (RS) atau, yang terbaru, Muhammad Rizieq Shihab (MRS). Berbeda dengan penyebutan kepada Habib Lutfi bin Yahya, misalnya. Gelar "habib", bagaimanapun, punya pengaruh dan getaran kuat bagi kalangan akar rumput umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia.
Kedua, narasi pelabelan dan stigmatisasi.Â
Insiden KM-50 jalan tol Cikampek yang berakhir dengan gugurnya enam anak muda anggota Laskar FPI yang mengawal rombongan HRS yang hendak mengisi pengajian di luar Jakarta jadi titik tolaknya.Â
Dengan segala alibi dan bukti yang terkesan mengada-ada, FPI distigmatisasikan sebagai kelompok berbahaya, hingga berujung pada penetapan FPI sebagai organisasi terlarang, yang bahkan berani menyerang aparat kepolisian. Pesan itu diperkuat dengan kehadiran Pangdam Jaya di konferensi pers bersama petinggi Polri.Â
Seakan-akan FPI adalah musuh negara yang kejahatannya setara dengan OPM Benny Wenda dan teroris MIT (Mujahidin Indonesia Timur) Ali Kalora, termasuk dirancang dalam draf revisi regulasi UU Pemilu agar para bekas anggota FPI tidak punya hak pilih dalam pemilu mendatang. Suatu hukuman keras yang bahkan tidak dijatuhkan kepada para eks-anggota PKI yang jelas-jelas melakukan pemberontakan yang merongrong Pancasila dan NKRI pada 1948 dan 1965.
Alhasil, segala usaha memberangus FPI telah dilegitimasi keabsahannya, tanpa peduli HAM atau nilai kemanusiaan.
Semua narasi tersebut ditopang dengan kekuatan buzzer di medsos dan laskar demonstran bayaran yang rame-rame menuntut penangkapan HRS.