"Penderitaan yang sesungguhnya adalah ketika kamu kehilangan kepercayaan diri dan harapan."
(Helvy Tiana Rosa dalam Tanah Perempuan)
Tahun baru, harapan baru.
Demikianlah resolusi tahun baru yang lantang dan ramai terucap di awal pergantian tahun Masehi 2021 seiring letusan kembang api tepat tengah malam.Â
Agenda dan rencana baru disusun. Strategi dipersiapkan. Niat perbaikan dipancang. Terlebih lagi sepanjang tahun sebelumnya, yakni 2020, dunia muram dirundung kegelapan pandemi COVID-19. Segenap rencana buyar dan harapan ambyar. Maka, di tahun baru, haruslah lebih baik dari tahun sebelumnya!
Kira-kira demikian harapan yang membuncah di awal 2021. Itulah juga harapan saya. Buku agenda baru yang telah dibeli sebelum tahun baru telah dicoret-coreti dengan target-target tahunan yang diperinci detail dalam target bulanan, mingguan dan harian.
Namun Tuhan memang takkan pernah membiarkan manusia hidup tanpa diuji agar dapat menyaring dan menyeleksi manusia-manusia terbaik pilihan-Nya. Sekaligus juga merangsang atau menstimulasi potensi-potensi terbaik umat manusia yang sekiranya kondisi baik-baik saja tentu takkan menyeruak ke permukaan.
Bukankah angin kencanglah yang bergerak mendorong perahu layar mengarungi samudera? Alih-alih angin sepoi-sepoi yang melenakan.
Bukankah dalam setiap push-up atau squat jump yang kita lakukan saat berolahraga pagi atau sore, yang serasa menyiksa otot kita, di situlah terbentuknya kekuatan otot sejati?
Demikianlah Tuhan menguji kita agar memang terbukti kita itu tidak sekadar omdo (omong doang) atau bullshit (bualan kosong). Bahwa kita memang benar-benar serius dengan apa yang kita rencanakan dan harapkan dan berani mewujudkannya menjadi realitas.
Demikianlah Tuhan menghadirkan ke hadapan kita pelbagai bencana dan musibah bagi bangsa ini sebagai ujian dari-Nya.
Kita saksikan pilunya musibah jatuhnya pesawat Srijaya Air SJ-182 jurusan Jakarta-Pontianak di perairan Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta yang menewaskan puluhan penumpang dan awak pesawat. Juga bencana longsor di Sumedang dan Manado yang menelan korban belasan jiwa; gempa bumi di Sulawesi Barat; banjir bandang di Kalimantan Selatan, dan gunung Semeru dan Merapi yang meletus.
Kita juga telah ditinggalkan para ulama lurus penuntun umat sekaliber Syekh Ali Jaber, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, dan beberapa ulama lainnya yang berpulang ke rahmatullah di awal tahun ini.
Ada pepatah bahasa Inggris yang mengatakan, "Good men died earlier." Orang-orang yang baik itu berpulang lebih awal.
Dalam teologi seorang Muslim, hal itu cukup relevan, berdasarkan hadis Rasulullah, karena di akhir usia bumi ini, yakni saat kiamat (The Judgment Day) atau Al-qiyamatu kubro (kiamat besar), bumi ini hanya akan diisi oleh orang-orang fajir (pendosa) dan zalim, karena orang-orang yang baik tidak akan mengalaminya sebab mereka diwafatkan lebih awal yang sejatinya merupakan Al-qiyamatu shugro (kiamat kecil).Â
Di saat kiamat akbar itulah bumi akan dihancurkan sehancur-hancurnya dan tiada lagi yang tersisa di mayapada ini. Perjalanan umat manusia pun beralih ke alam transisi antara dunia dan akhirat, yakni rapat akbar di Padang Mahsyar saat umat manusia ditimbang segenap amal baik buruknya untuk kemudian ditetapkan vonis dari Tuhan bagi setiap insan: masuk surga atau masuk neraka.
Sejatinya, segenap bencana atau musibah yang dialami di dunia ini adalah ujian untuk menakar kualitas keberimanan kita kepada Tuhan dan seberapa yakin dan percaya diri kita akan kemampuan serta potensi yang kita miliki. Juga, menakar apakah kita benar-benar serius merealisasikan harapan yag diangan-angankan menjadi bentuk kenyataan di hadapan.
Dan, di awal 2021, kita digedor Tuhan dengan terpaan sederet bencana dan musibah tersebut di tengah kungkungan derita pandemi COVID-19 yang tak kunjung berakhir sewarsa belakangan. Gedoran yang seakan menisbikan harapan bahwa tahun ini akan lebih baik dari tahun kemarin.
Apakah masih pantas kita berharap tahun ini lebih baik daripada tahun kemarin?
Tentu saja, karena derita atau ujian, tergantung dari perspektif mana kita memaknainya, ini laksana memisahkan emas dan loyang. Sebab sesungguhnya, menurut Helvy Tiana Rosa (seorang penulis perempuan kawakan Indonesia), penderitaan yang sesungguhnya adalah ketika kita kehilangan kepercayaan diri dan harapan. Badan boleh sakit, hati boleh pilu namun tekad dan harapan harus tetap tegak dan lurus dipancangkan.
Percayalah, harapan itu masih ada dan memang harus tetap ada. Janganlah berputus asa, Kawan!
Jika ini diary fisik dalam sebentuk buku, yang sekian tahun lalu pernah saya miliki, kalimat terakhir tersebut tentu akan saya cetak tebal dan lingkari penuh sebagai penanda sekaligus penyangat dan penyemangat.
Gedoran Tuhan lewat terjangan bencana alam dan musibah wafatnya asatiz (para guru agama atau ulama besar) memang menghenyakkan jiwa raga yang berpotensi mematahkan semangat, bagi yang tidak kuat.
Sekian hari belakangan demikianlah yang bermain-main di benak saya, sekaligus juga sebuah pertanyaan besar di benak: Apa maksud Tuhan dengan semua ujian berupa deretan bencana dan musibah tersebut?
Namun sejenak saya insyaf bahwa, sebagai Zat Agung Causa Prima dan Omniscient, Tuhan punya kehendak dan maksud tersendiri yang belum tentu kita mengerti dengan akal pikiran insani yang terbatas.Â
Ilmu Tuhan itu luas, laksana lautan. Sementara air laut yang tertinggal di ujung jari yang kita celupkan di lautan itulah sejatinya ilmu manusia. Sangat amat terbatas dan tidak layak diperbandingkan.
Maka, selepas kontemplasi dan refleksi personal, saya pun menyederhanakan harapan.Â
Harapan saya sederhana saja, yakni agar di bumi Nusantara ini tegak keadilan dengan izin Tuhan. Lawan keadilan adalah kezaliman. Dan kezalimanlah yang mendatangkan murka Tuhan. Sementara keadilan akan mendatangkan rahmat dan ridho Tuhan bagi seluruh umat dan insan.
Jika keadilan diibaratkan laksana paku bumi, maka ia akan mencengkeram bumi ini agar tidak bergoncang dan stabil di porosnya. Dan keadilan juga yang menjamin kesentosaan dan kemakmuran hidup segenap anak bangsa.
Yakin tidak kecewa? Wallahu a'lam bisshawwab. Hanya Allah yang mengetahui jawabannya.
Setidaknya, sebagai umat manusia dan insan Tuhan, saya telah menaruh dan mempercayakan penuh harapan kepada Tuhan. Tiada kata kecewa jika percaya kepada Tuhan, yang turunannya adalah sabar dan ikhlas dengan segenap qodarullah (takdir Tuhan) yang berlaku.Â
Toh, kecewa dan penyesalan biasanya datang belakangan. Jika di awal, itu namanya pendaftaran.
Jagakarsa, 17 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H