Demikianlah Tuhan menghadirkan ke hadapan kita pelbagai bencana dan musibah bagi bangsa ini sebagai ujian dari-Nya.
Kita saksikan pilunya musibah jatuhnya pesawat Srijaya Air SJ-182 jurusan Jakarta-Pontianak di perairan Kepulauan Seribu di Teluk Jakarta yang menewaskan puluhan penumpang dan awak pesawat. Juga bencana longsor di Sumedang dan Manado yang menelan korban belasan jiwa; gempa bumi di Sulawesi Barat; banjir bandang di Kalimantan Selatan, dan gunung Semeru dan Merapi yang meletus.
Kita juga telah ditinggalkan para ulama lurus penuntun umat sekaliber Syekh Ali Jaber, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, dan beberapa ulama lainnya yang berpulang ke rahmatullah di awal tahun ini.
Ada pepatah bahasa Inggris yang mengatakan, "Good men died earlier." Orang-orang yang baik itu berpulang lebih awal.
Dalam teologi seorang Muslim, hal itu cukup relevan, berdasarkan hadis Rasulullah, karena di akhir usia bumi ini, yakni saat kiamat (The Judgment Day) atau Al-qiyamatu kubro (kiamat besar), bumi ini hanya akan diisi oleh orang-orang fajir (pendosa) dan zalim, karena orang-orang yang baik tidak akan mengalaminya sebab mereka diwafatkan lebih awal yang sejatinya merupakan Al-qiyamatu shugro (kiamat kecil).Â
Di saat kiamat akbar itulah bumi akan dihancurkan sehancur-hancurnya dan tiada lagi yang tersisa di mayapada ini. Perjalanan umat manusia pun beralih ke alam transisi antara dunia dan akhirat, yakni rapat akbar di Padang Mahsyar saat umat manusia ditimbang segenap amal baik buruknya untuk kemudian ditetapkan vonis dari Tuhan bagi setiap insan: masuk surga atau masuk neraka.
Sejatinya, segenap bencana atau musibah yang dialami di dunia ini adalah ujian untuk menakar kualitas keberimanan kita kepada Tuhan dan seberapa yakin dan percaya diri kita akan kemampuan serta potensi yang kita miliki. Juga, menakar apakah kita benar-benar serius merealisasikan harapan yag diangan-angankan menjadi bentuk kenyataan di hadapan.
Dan, di awal 2021, kita digedor Tuhan dengan terpaan sederet bencana dan musibah tersebut di tengah kungkungan derita pandemi COVID-19 yang tak kunjung berakhir sewarsa belakangan. Gedoran yang seakan menisbikan harapan bahwa tahun ini akan lebih baik dari tahun kemarin.
Apakah masih pantas kita berharap tahun ini lebih baik daripada tahun kemarin?
Tentu saja, karena derita atau ujian, tergantung dari perspektif mana kita memaknainya, ini laksana memisahkan emas dan loyang. Sebab sesungguhnya, menurut Helvy Tiana Rosa (seorang penulis perempuan kawakan Indonesia), penderitaan yang sesungguhnya adalah ketika kita kehilangan kepercayaan diri dan harapan. Badan boleh sakit, hati boleh pilu namun tekad dan harapan harus tetap tegak dan lurus dipancangkan.
Percayalah, harapan itu masih ada dan memang harus tetap ada. Janganlah berputus asa, Kawan!