Jika ini diary fisik dalam sebentuk buku, yang sekian tahun lalu pernah saya miliki, kalimat terakhir tersebut tentu akan saya cetak tebal dan lingkari penuh sebagai penanda sekaligus penyangat dan penyemangat.
Gedoran Tuhan lewat terjangan bencana alam dan musibah wafatnya asatiz (para guru agama atau ulama besar) memang menghenyakkan jiwa raga yang berpotensi mematahkan semangat, bagi yang tidak kuat.
Sekian hari belakangan demikianlah yang bermain-main di benak saya, sekaligus juga sebuah pertanyaan besar di benak: Apa maksud Tuhan dengan semua ujian berupa deretan bencana dan musibah tersebut?
Namun sejenak saya insyaf bahwa, sebagai Zat Agung Causa Prima dan Omniscient, Tuhan punya kehendak dan maksud tersendiri yang belum tentu kita mengerti dengan akal pikiran insani yang terbatas.Â
Ilmu Tuhan itu luas, laksana lautan. Sementara air laut yang tertinggal di ujung jari yang kita celupkan di lautan itulah sejatinya ilmu manusia. Sangat amat terbatas dan tidak layak diperbandingkan.
Maka, selepas kontemplasi dan refleksi personal, saya pun menyederhanakan harapan.Â
Harapan saya sederhana saja, yakni agar di bumi Nusantara ini tegak keadilan dengan izin Tuhan. Lawan keadilan adalah kezaliman. Dan kezalimanlah yang mendatangkan murka Tuhan. Sementara keadilan akan mendatangkan rahmat dan ridho Tuhan bagi seluruh umat dan insan.
Jika keadilan diibaratkan laksana paku bumi, maka ia akan mencengkeram bumi ini agar tidak bergoncang dan stabil di porosnya. Dan keadilan juga yang menjamin kesentosaan dan kemakmuran hidup segenap anak bangsa.
Yakin tidak kecewa? Wallahu a'lam bisshawwab. Hanya Allah yang mengetahui jawabannya.
Setidaknya, sebagai umat manusia dan insan Tuhan, saya telah menaruh dan mempercayakan penuh harapan kepada Tuhan. Tiada kata kecewa jika percaya kepada Tuhan, yang turunannya adalah sabar dan ikhlas dengan segenap qodarullah (takdir Tuhan) yang berlaku.Â
Toh, kecewa dan penyesalan biasanya datang belakangan. Jika di awal, itu namanya pendaftaran.