Dan gaya pengarang tergantung sebagian besar dari watak pengarang itu sendiri. Ia haruslah menumbuhkan gaya mengarang sendiri, yang sesuai dengan watak, emosi dan dengan pertimbangan serta apresiasi bahasanya sendiri.
Atau dalam istilahnya John Cowper Powys, "Yang penting bagi setiap pengarang ialah jiwanya sendiri; apa yang dimilikinya dalam kepalanya, dalam alat-alat panca inderanya, dalam watak dan pribadinya, dalam darah dan temperamennya."
Alhasil, tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah yang merupakan salah satu roman dalam Tetralogi Pulau Buru, sesederhana apa pun cerita yang dibuat, ia mewakili pribadi individu atau bahkan bangsanya.
Itulah yang menjadi keunikan setiap pengarang atau penulis. Karenanya gaya menulis tidak bisa diajarkan. Ia hanya bisa dipelajari dan ditiru. Dan tiada jalan pintas untuk mendapatkan gaya menulis tersebut.
Persis seperti yang diungkapkan William Faulkner dalam sebuah wawancara bahwa tidak ada jalan mekanis untuk mengarang. "Pengarang muda akan bodoh untuk mengikuti suatu teori. Ajar dirimu dengan kesalahan-kesalahan yang engkau buat sendiri. Orang hanya belajar dengan membuat kesalahan."
Kasta epigon
Apa salahnya menjadi epigon?
Mungkin ya, mungkin tidak. Karena tergantung pada kasta epigon apa yang saat ini kita tempati dan seberapa kuat hasrat kita untuk naik kasta dan mengubah takdir kepenulisan kita.
Ya, menjadi epigon adalah salah apabila kita melakukan kesalahan sebagaimana salahnya bayi yang menolak menjadi dewasa. Ia selamanya kerdil dalam bayang-bayang orang-orang besar.
Seperti kata Mochtar Lubis, lagi-lagi dalam Sastra dan Tekniknya, bahwa orang hanya menulis apabila ada sesuatu dalam jiwanya yang mendesak-desak, memaksanya mengambil alat tulis dan menulis.
Jika orang mengarang karena ikut-ikutan atau sekadar meniru karena ingin terkenal atau masyhur maka orang yang demikian pastilah dari semula tidak akan berhasil menjadi pengarang.