Sebagian penulis besar Indonesia yang dicatat Pamusuk Eneste dalam serial buku Proses Kreatif terbitan Pustaka Gramedia tahun 80-an, mulai dari A.A. Navis sampai Arswendo Atmowiloto, bahkan menerjemahkan prinsip tersebut dengan menyalin atau mengetik ulang tulisan-tulisan penulis idola mereka untuk kemudian dibaca dan dibedah isi perutnya.
Tidak heran Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya kandidat "abadi" penerima hadiah Nobel Sastra dari Indonesia, tidak malu mengakui bahwa ia terpengaruh gaya John Steinbeck.
John Steinbeck adalah pengarang peraih Nobel Sastra kelahiran Amerika Serikat yang digjaya dengan novel-novel realisnya seperti Of Mice and Man (diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Pram menjadi Manusia dan Tikus), The Grapes of Wrath dan Pearl.
Demikian juga dengan seorang Achdiat Kartamihardja dengan roman legendaris Atheis yang jujur mengakui mempelajari teknik menulis pengarang Perancis Victor Hugo yang masyhur dengan roman Les Miserables.
Bagi seorang penulis, menjadi epigon adalah seperti menjadi seorang bayi. Ia butuh mengamati dan ia butuh asupan bergizi.
Tiga perangkat wajib penulis    Â
Dalam Sastra dan Tekniknya (1997), menurut Mochtar Lubis, tiga perangkat wajib bagi seorang pengarang atau penulis adalah observasi, imajinasi dan logika. Dan ASI (Air Susu Ibu) bagi sang "bayi" penulis adalah buku.
Seperti ucapan Mark Twain,"The man who does not read good books has no advantage over the man who cannot read them."
Orang yang tidak membaca buku-buku bagus tidak ada bedanya dengan orang yang tidak bisa membaca.
Sementara Samuel Johnson (1709-1784), seorang penulis berkebangsaan Inggris, mengatakan,"Sebagian besar waktu seorang penulis dihabiskan untuk membaca agar bisa menulis. Ia perlu membuka halaman separuh isi perpustakaan untuk menciptakan sebuah buku."
Sebagai "bayi", meniru atau mengimitasi adalah perlu.